Jumat, 31 Oktober 2014

Tokoh Muda KAMMI_Faiz; Daun (Dakwah Universal)

            Nama panggilannya Faiz. Kader muda dan lucu ini ikut DM 1 pada tahun 2013 dengan pencarian seorang pengelana tanpa peta. Namun ia memiliki kompas berupa jaringan persaudaraan. Faiz boleh percaya bahwa orang-orang baik akan bertemu dengan kadar dan petunjuk iman kepada kelompoknya. Bila seorang telah terpatri dalam dirinya karakter pemuda Islam (Ali bin Abi Thalib, Salahuddin al Ayubi, Arqam, Sultan Muhammad Mahmed al Fathin 1645, Al Makmun), maka ia akan termiliki dua konsekuensi. Ia akan bergerak, atau rasa berjuang akan mengantarkan ia pada dakwah.
            Faiz seorang inisiator, kritikus, kader/dai, desianer, leader¸ joker, arsitek, gastronom.
Suatu saat setelah latihan drama di lapangan belakang SC, saya menghampirinya sedang membaca buku karya bang Izuddin ‘quantum tarbiyah’, sendiri sambil duduk santai. Entah mengapa Faiz senang menjadi baik dengan aksi membuka jarkom stand. Saat setelah TM DM 1 (30 Oktober 2014), “Besok kita ndak buka stand lagi yoo!”. Faiz terdiam seperti telah lupa pernah bermimpi indah dan sehat.
Dan pada agenda sosialisasi pengenalan KAMMI kepada antar OMEK atau pengguna tetap jalan tengah antara gedung A dan gedung B dengan membagi-bagi takjil, Faiz sangat bersemangat membagi sebakul es yogurt dan bubur kepada mereka. Ia senang. Betapa senangnya berbagi. Betapa bahagia menjadi mujahid. Betapa bahagia memiliki kesalehan pribadi. Satu langkah menuju kecakapan sosial, sebagaimana dua syarat tarbiyah siyasah oleh Kang Cahyadi.
Suatu kali Faiz telah menemukan sumber darah mendidih dalam dadanya. Sebuah pancuran yang berpancaroba. Yang pernah dirasakannya dulu, sewaktu DM. yakni ketika family gathering (19 Oktober 2014). Betapa suguhan kalimat dan statement seorang agitator, Win Ariga menambah kepercayaan dirinya. Menyimpulkan tali yang selama ini hampir tak tertarik pada satu sisi, bahwa ia sedang berguna. Dan semoga ia membaca fiqh dakwah, Syaikh Mustafa Mashur, yang kerap menggenapi semua perasaan mujahid tentang kerja keras dan usaha tanpa batas pada bab pembentukan dakwah (takwin).
Faiz memiliki rival. Ia sering memanggilnya Oik. Bahkan ia selalu menyimpan serta menceritakan satu kisah tentang Okik kepada peserta DM, dan juga kepada saya. Okik seorang koordinator departemen kaderisasi KAMMI UG Bali, sedang Faiz adalah seorang staff departemen kaderisasi KAMMI UIN Malang. Faiz pernah iri. Dan saya menyelipkan motivasi fastabiqul khoirot.
Faiz bersemangat mengikuti jenjang AB3. Suatu semangat yang langka. Baru dua kader yang sungguh-sungguh ingin mengikuti DM3, dan keduanya mengungkapkan kepada saya secara langsung. Yakni Abdul Haris Syafii (staf KP), dan Faiz Ahmad Ubaidillah (staf KD).   
Faiz benci pesimistis. Faiz aktif mendayakan kepala dan idenya pada pengayaan, manajerial, operasi sebuah bahan baku sumber daya. Sebuah kualitas dari kerja kolektif dari seni ketidakmungkinan oleh Ustadz Anis Matta. Faiz selalu berinteraksi tentang percaya diri dan komunikasi dengan Fauzan Azhim Winata (co.KD) dan Ujang Fauzan (sekretaris Danus). Ketiganya kompak menciptakan lelucon yang selalu mengarah pada politisasi emosional intensif. Sebuah laku sederhana tentang tidak mudah marah dalam membuat lelucon.
Faiz benci kepada kata ‘afwan’. Sebuah kata. Diksi apologia dialektik permisiv yang terkompromi.
Suatu sore transisi mendung kepada senja (28 Oktober 2014), Faiz bercerita tentang keyakinan, yang saya percayai. Pertama, ia percaya bahwa angkatannya adalah kader-kader terbaik, pemutus rantai keterpurukan aksi dan komunikasi dari seniornya. Mereka adalah 4 terbaik. Ade Sofiarani (staf KP), Faiz Ahmad Ubaidillah (staf KD), Izzah Abidah (staf KD), Seta Mahardika Caesar Wahyuono (staf KP). Buktinya, mereka punya bakat untuk menularkan ruhul istijabah (responsibilitas spiritual) pada setiap agenda koordinasi dan evalusi, serta menjadi kehati-hatian bagi para pesibuk oleh para pemilik mata penjagal. Dan selalu tak luput menyisipkan komentar terkini mengenai kekompakan, efektivitas kolektif, fungsi distribusi, dan ekspektasi popularitas kinerja organisasi. Selalu mewah dan patut dihadapkan dengan militansi. Kedua, kepada Seta, ia bercakap dengan lirih tentang pondasi siyasah (politik) KAMMI dengan benih kader yang banyak tahun 2014. Sebuah debut bagi Faiz. Dengan lirih, ia seperti menyusun konspirasi. Mungkin begitulah keyakinan Assisi pada suksesi Mursyi, atau begitulah senyum seringai pedang samurai Ayatullah Khomeini dengan revolusinya kepada Reza Pahlevi Khan, atau bayangan hitam yang berpendar dalam kuasa bibir Hitler, Lanin, Stalin pada pembantaian masal, Holocaust sebagai hadiah masa lalu.
Faiz melewati hari dengan sederhana, ia begitu berbeda. Larut pada dakwah juga merembes pada  ruang sempit hatinya, mengenai akedemisi, dan segala cek-cok warna KHS yang sok menentukan. Faiz memainkan geliat cita rasa dakwahnya hampir gemilang, dengan sungguh-sungguh dan hati-hati ia memampatkan kalimat perintah orang tuanya tentang kesuksesan pada sela amanah wajihah.
Faiz suka berbagi dan meminta umminya memaksakan hajatannya untuk berbagi.
Faiz berpotensi mengembangkan dan meledakkan gagasan mengenai pengaruh politik, sistem sosial kepemimpinan, dan manajerial yang sangat jarang diketahui eksistensinya dalam hati-hati kader. Sejauh ini baru tiga orang. Taufiqurrahman (co KP 2014), Adib Khairul Umam (Ketumsat 2013-2014), Raqwan al Aidrus (Sekumsat 2012-2013).
Alasan. Taufiqurrahman, adalah pemimpin muda kepribadian sehat bersemangat. Kerap terinspirasi oleh Fahri Hamzah (pionir KAMMI 1998), Anis Matta (IPM). Taufiq paham dan cerdas tentang peletakan posisi keberpihakan organisasi yang kerap cadas, parsial, dan berkonsekuensi. Taufiq sangat menyukai bila menyelesaikan mantuba-mantuba, sehingga kepemimpinannya selalu ia selesaikan dengan titipan pesan para dai. Contoh, bila dalam syuro, jangan melibatkan pengalaman ketidakmampuan kader , karena kata Taufiq menasehati orang di depan khalayak adalah sama dengan melecehkan. Entah darimana kutipan itu ia ambil. Sayang, bakat Taufiq selalu terhisap dan terbagi untuk mengembangkan UKM Taekwondo.
Alasan. Adib Khoirul Umam, adalah pemimpin dengan cita rasa diktatorialisme, idealisme, presisiatis, dan glamoris. Tampak pada tata spasial, tata alokasi, tata diskusi, dan tata strukturalis.
Alasan. Raqwan al Aidrus, wisudawati terbaik 2013. Mampu memutar stel fleksibilitas adiptif patner. Selalu menciptkan momentum daya guna memoriam. Tak pernah ketinggalan isu, dirindukan oleh senior, junior. Memiliki kemampuan klarifikasi dan tegas keras pada sesi SGD maupun penyusunan buku sejarah (red-draf musykom).
Faiz, memiliki mimpi layaknya seorang muda dengan gairah para mujahid angakatan tahun tinggi. Tentang diasporasitas dakwah, pengukuhan sayap dakwah, dan menjadi yang terbaik. Selalu suka terbawa atmosfir perasaan. Dan selalu siap untuk lebih riang, bila dihadapkan dengan keyakinan. Apapun itu banyak lagi, hal tentang Faiz.        
Faiz selalu mengumandangkan tentang dakwah universal. Dakwah tidak terpaut paralel pada subjek, keterangan tempat dan waktu. Bila bertemu dengan manusia dengan pemetaan tipe alur lembaga, ia selalu menyarankan afiliasi.

Faiz tidak terburu-buru dan memiliki tekstur keindahan realis magis dan berimbang yang sangat pribadi mengenai disain media fisik. Sekali-kali Faiz cerdas berasosiasi perasaan dan sakit hati. Ia akan mudah menerima, karena komunikasi yang tendensius saling sengkarut, sebuah persimpangan idealitas realitas, das sein das solen. Namun jiwa mujahid tak selalu tumbuh karena orang lain, Faiz mengalami sendiri keteguhan diri dan eksistensi KAMMI ke depan. Dan Faiz memiliki sejuta cerita dan kekayaan hati untuk bersemangat. Faiz bagai alaram yang terkonsep sistemik. Bisa menderu-deru bila tidak ditransmisikan atau ada yang rusak pada suku cadang. Namun Faiz tetap sehat, berpuasa. Besok Faiz punya cerita lagi.  

Rabu, 22 Oktober 2014

Solilokui Menjelang Muharram 1436 H

Solilokui Menjelang Muharram 1436 H
oleh: Ubaidillah A

Sebuah titisan kalimat yang teralirkan dari perasaan jenuh, deras membasahi ‘futur’, kaki menjadi lebih gesit melangkah, sebuah jalan lain untuk mengenang….
Sebuah rasa rindu yang terlalu melankolis untuk dibagikan, terlalu memaksakan bila disampaikan, kutulis sebuah rasa manusia, yang kangen saudara, yang ditempa untuk sempat, tentang ‘kamu di mana akhi?’, ‘Afwan ukhti, ana sedang tidak sempat!’. Setetes sesal mungkin luruh turun di benak antum, namun persaudaraan ini adalah pertautan batin kita. Lalu, mari kita membayangkan kekhawatiran saudara Rasulullah SAW saat berumur 17 tahun saat pergi Syam bersama paman Beliau berdagang, akan bahaya ambisi dan agresi konspirasi orang-orang Yahudi jika menemui Nabi. Mungkin mereka sedih melepas pertemuan dengan kekasih Allah itu, atau bayangkan pertemuan (liqo’) Abu Dzar al Ghiffari dari Syam ke Mekkah yang ingin bertemu dengan Rasulullah SAW. Yang berat, penuh keikhlasan, pengorbanan, hingga Keislaman.  Yang terpesona kepada seorang lelaki yang menyerukan kepada kemuliaan akhlak. Tidak percaya bahwa Rasulullah adalah seorang tukang sihir.
Sebuah air mata kepedihan tak akan kering bila tetap menenteng ego atas nama ukhuwah dan jamaah, dan partikular yang menjemukan itu, perjuangan ini butuh sambutan tangan antum!
Sebentar lagi kita akan memenangkan jihad fardiyah kita kepada Allah, agama, keluarga, sosial, dan diri sendiri dalam setahun. Afwan. Bila selama ini saudara kita sedang berada dalam kesibukan, hingga perhatian dan atensi tak terakrabi, bait-bait doa pun luput, dan salam hangat kesabaran menjadi pudar dan berganti esensi. Suatu saat akan ada rasa menyendiri, datang memeluk saat kita tak ingin bertekuk lutut atas semua permasalahan. Lalu, datang sebuah lintasan kenangan ketika bersama saudara, yang tak akan habis dari bibirnya sebuah cerita yang riang, ringkas, sistematis, maupun tak paham. Namun, lihat kepolosan inisiatifnya yang ikhlas, sebuah pertemuan yang terjanjikan namun terlalu tak mungkin terus diharapkan. Ketahuilah, persaudaraan ini akan diuji.
Sudah lama pergantian itu menjadi sebuah sistem yang niscaya, manusia saling ganti –menggantikan, saling berposisi-memposisikan, saling berguna-menggunakan, saling melengkapi, kadang tak ada ruang untuk berapresiasi, biar Allah dan tarbiyah keikhlasan dijemput dengan semangat
Sudah lama banyak hal terlewati dengan sendiri-bersama, sepi-ramai, tawa-sedih, usaha-bantuan, dan banyak rasa-rasa dakwah ini. Tuhan sudah menentukan hari-hari dan bulan-bulan yang dirahmatinya, yakni Hijriah, yang 12 bulan. Pada tiap-tiap bulan mengabadikan kisah-kisah yang tak akan lekang oleh gerusan zaman dan keterlupaan manusia. Kisah-kisah yang dahsyat menginspirasi, mengisi bahan bakar yang kosong futur dan figur dalam setiap umur dakwah menjadi cerah berwawasan, yang padanya semua keinsafan manusia akan dievaluasi, Tuhan sudah memperingati wal tandzhur nafsum ma qaddamat li ghad. Dan ala bidzikrillah tathmainnul qulub. Tuhan terimalah amal-amal kammi setahun yang lalu, ampuni kelalaian kami yang berefek pada kesejahteraan ukhuwah kammi yang tak mungkin kami pungkiri terseleksi. Kumpulkanlah kammi lagi dengan saudara-saudara kammi yang sibuk, jauh, dan sedang sakit. Kumpulkan kammi di syurgaMu, yang di dalamnya berisi usaha ibadah dan jihad karenaMu. Semoga antum tahu, ‘yang sakit jangan lupa istirahat/yang sibuk jangan lupa tidur/yang belajar keras dan bekerja keras jangan lupa berdoa/yang sendiri jangan lupa saudara dan telfon orang tua/yang sedang ramai jangan lupa tersenyum ikhlas/yang bingung jangan lupa menulis’.
Momen. Setiap hari adalah berkah tiada punah bagi hidup kammi, sebuah anugerah baru untuk perjuangan dalam jamaah, menyebarkan ketaatan kepada manusia yang melupa untuk Tuhan. Mengumpulkan pahala-pahala, mengutip hikmah-hikmah, menyimpan nasihat-nasihat, dan menyampaikan kebaikan melarang keburukan
Betapa tak akan lengser siapa antum dalam hati-hati mereka. Yang telah datang dari keterasingan, yang ditempa dalam kesibukan  untuk terus berkumpul dan merasakan keresahan kegelisahan untuk menikmati aroma hidup berjamaah. Yang pada mereka tak ada jaminan tawa terbahak-bahak, hanya berkumpul dan beramal. Dan salah satu dari mereka akan suka sekali dengan salah satu motivasi “Dan katakanlah ‘beramallah kalian, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang mukmin akan melihat amal kalian itu, dan kalian kana dikembalikan kepada Allah yang mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kalian apa yang kalian amalkan ’”(Q.S At Taubah:105). Dulu, sekali kalian adalah orang-orang berbeda, idelogi, kemauan, cita-cita, tujuan hidup, egositas. Namun, kalian begitu akrab dan saling ingin mengusap air mata, atau meminta mengulang cerita lucu dan kabar gembira saudaramu. Betapa kalian tak perlu teori untuk memahami atau mempraktikkan kontak sosial. Kalian adalah puncak dari keridhaan Allah bila kalian terus beibadah. Karena yang kalian lakukan terang dan jelasnya syariat Allah di muka bumi. Itu lebih dari sistematika penulisa penelitian yang membutuhkan dialektika pembuktian. Agama Tuhan ini tak akan terhitung nilai-nilai kemanusiaannya, yang selama ini selalu bias bagi para komunis-sosialis, terlalu kejam dan tak berbentuk bagi para liberal-kapitalis.
Tuhan, tolong berilah kesehatan kepada keluargaku, saudara-saudaraku. Kumpulkan kami sebagai orang-orang mukmin. Tolong jaga hati kammi dari rasa dengki, curiga, yang busuk dan mematikan ibadah kammi kepadaMu. Berilah kammi kesempatan untuk terus mengembangkan diri dan menjadi lebih baik. Dengan tetap bersama-sama jamaah dan ukhuwah ini. Sungguh ukhuwah ini terlalu manis untuk dilupakan, terlalu pahit untuk dimuntahkan, terlalu segar untuk segera dilahap, terlalu matang untuk langsung dipetik. Sungguh terlalu bagi mereka yang meragukan ukhuwah kammi.  


Jumat, 10 Oktober 2014

Jangan BASI (Bandel Komunikasi)

Jangan BASI (Bandel Komunikasi)
Oleh: Ubaidillah Alfaisal Samosir (9/10/2014)


Part 1
Kita akan belajar menikmati hidup yang tidak ringan dan banyak arah
Menengok ke dalam kehidupan orang-orang mulia,
Nabi Sulaiman A.S, Nabi Yusuf A.S, dan Rasulullah; Muhammad SAW

Minum JAMU (Jaringan Mutu)
            Pada hari selasa sore ada latihan drama di belakang Sport Centre, saya tidak bisa menemani rekan-rekan ikhwan membuka stand. Untung masih sempat membantu merapikan dan mengusung bendera, banner duduk, informasi kertas dan undangan agenda. Saya bercerita dengan seorang rekan berbadan gempal (tapi Beliau sehat dan aktif), ada undangan dari HMI nanti malam jam setengah tujuh di depan tangga besar, semacam diskusi panel tentang hari kesaktian pancasila, katanya. Sesaat saya merasa tergesa dan terburu-buru mendengarnya, dan mulai mencari catatan dan sumber bacaan untuk bahan berbicara atau berdialektika untuk mengimbangi obrolan, nanti setelah selesai meletakkan inventaris. Setelah solat maghrib saya langsung beranjak pulang, saya merasa ada waktu untuk membaca, walau hanya postingan-postingan blog, dan saya pesankan kepada rekan saya untuk ikut, kebetulan waktu itu mereka ada 3 orang (akh Fauzan, akh Faiz, dan akh Ujang), namun akh Ujang tidak bisa hadir, karena harus memenuhi amanah dari bosnya.
            Sempat saya dipesankan untuk menyimpan hasil pencarian informasi tentang tema oleh Fauzan, saya mengiyakan, dan ia mengatakan untuk singgah dulu ke timpat tinggalnya, ke sana bersama katanya. Saya juga mengiyakan.
            Saya mesti terburu-buru, bersih-bersih diri, dan saya menengok ke jam ponsel, sudah tiba waktunya. Padahal saya belum kenyang informasi, saya sudahi, saya membaca refleksi maqosidus syari’ah dalam pancasila dari Salim A. Fillah, blog-blog nilai-nilai pancasila seperti menggurui karena jelas untuk anak-anak SD, dan banyak lain. Namun saya hanya menyederhanakan bacaaan dan merasa cukup gak cukup, mesti berpikir sendiri dan berargumen mandiri. Namun saya masih ragu apabila menjadi panelis.
            Pengalaman saya menjadi panelis, undangan dari HMI juga, tentang Save Our Kampus, yang mirip propogandis dan konsensus ratifikasi aksi mereka terhadap rektor. Waktu itu saya dihubungi terus tentang TKP, dan saya ditemani oleh Akh Udi dan Akh Adib. Setiba di sana, waktu itu di beranda gedung A lantai 1, saya harus mengisi curiculum vitae panelis. Saya agak canggung pada point jabatan, training, prestasi, dan pengalaman berorganisasi. Tapi apalah daya, saya harus jujur, dan baru kali itu saya menikmati perasaan sebagai penjujur. Saya mesti jujur juga bahwa lawan bicara saya adalah mahasiswa strata 1 dari HMI, mahasiswa P.IPS semester 6 dari IMM, dan saya mahasiswa BSA semester 6 dari KAMMI.
            Namun kali ini beda, saya tidak dihubungi di mana saya harus mengikuti acara, dan ketika hampir sampai saya melihat jam sudah lewat dua puluh menit dari undangan, langsung saya melayangkan ke Fauzan agar segera duluan ke tempat acara. Namun saya tidak dikonfirmasi. Sehingga membuat saya melangkah lebih gesit dan cepat.
            Ketika masuk di kampus, suasana lengang, terasa sendiri, saya singgah ke tempat tinggal Fauzan, karena ragu dia tidak menuruti intruksi untuk datang ke agenda terlebih dahulu, tanpa saya. Saya tidak mendapati siapapun di sana. Karena dikejar perasaan tidak sabar dan kesal tidak menerima konfirmasi, saya langsung telfon Fauzan, ternyata anaknya sudah di sana. Saya kecele oleh saya sendiri. Astaghfirullah. Dengan perasaan bersalah saya harus memutar rute untuk sampai di sana.
Di sana saya melihat para undangan sudah berdiri, suasana gelap, pada jenjang tangga mereka menidurkan bendera besar HMI dengan batu, dan bercahayakan sederhana oleh cahaya dari lampu mobil, sederhana. Saya agak linglung, kenapa sedari tadi tidak ada yang mengangsur curiculum vitae pemateri. Saya berpikir, ada yang aneh dari agenda HMI kali ini, kalau saya memang harus menjadi panelis lagi, yakni:
1).  Panitia tidak menghubungi saya
2). Sudah lewat 10 menit agenda berjalan, saya tidak mendapati ada kertas apapun
            Saya menyimpulkan, ini bukan agenda diskusi panel, namun undangan terbuku untuk setiap OMEK. Karena host telah memanggil 3 orang sarjana sebagai pemateri, 2 orang strata satu, 1 orang strata dua dan sudah menjadi dosen ilmu administrasi. Sampai saya mengantuk sekali mengikuti.
            Saya menjadi basi (bandel komunikasi). Energi saya terbuang karena harus bolak-balik mengkoordinir rekan. Namun itu karena saya tidak mengikuti arahan saya sendiri dan memutuskan untuk langsung ke tempat.
            Dalam sistem komunikasi dan koordinasi diputuskan secara mutlak dalam syuro. Siapapun tidak boleh melanggar, memperlambat, meruangkan malas, dan mengalpakan diri dari hasil syuro. Bila ditelaah, apakah Rasululullah kurang cerdas dengan kondisi kesiapan para resimen pasukan perang Uhud? Namun karena perintah Tuhan adalah nomer satu digalakkan dalam aksi seperti syuro, maka i’tikad pribadi menjadi bias. Walau di akhir peperangan maut hampir menjemput Rasulullah akibat kelalaian para sahabat terhadap musuh di balik gunung dan ingin merampas ghanimah.
            Dalam buku dari gerakan ke negara halaman 120-121, Ustadz Anis Matta menuturkan ada 9 hal yang bisa dikembangkan untuk memaksimalkan peran dan fungsi syuro; pertama, harus ada keikhlasan dan nuansa spiritual yang kental sehingga semua orang merasa bahwa pendapat-pendapatnya akan memengaruhi kehidupan orang lain.
Kedua, harus ada semangat kebebasan dan kesetaraan yang memungkinkan setiap orang berpendapat tanpa merasa sungkan atau segan dengan seseorang yang lain.
Ketiga, harus ada tradisi ilmiah yang kokoh, di mana kesantunan, rasionalitas, objektivitas, dan metodologi serta data empiris di junjung tinggi di atas segalanya.
Keempat, harus ada kelapangan dada yang memadai untuk dapat menampung berbagai perbedaan pendapat, sehingga keragaman menjadi sumber dinamika dan pertumbuhan, bukan malah jadi sumber konflik dan perpecahan.
Kelima¸ harus ada manajemen waktu yang efektif untuk menjamin bahwa setiap masalah mendapat jatah waktu layak untuk pembahasan, dan setiap orang mendapat kesempatan cukup untuk menyampaikan pikiran-pikirannya.
Keenam, harus ada semangat introspeksi yang cukup untuk menjamin kita tetap objektif memandang diri kita sendiri, tidak terjerumus dalam pengkambinghitaman, fitnah, dan konflik antarindividu.
Ketujuh, harus ada sikap natural dan wajar dalam memandang kesalahan-kesalahan yang kita lakukan sendiri, kita tidak perlu merasa bersalah secara berlebihan. Merasa bersalah itu penting, tapi berlebihan dalam perasaan bersalah juga negatif.
Kedelapan, harus ada sikap yang proposional terhadap tafsir konspirasi, sehingga kita tidak perlu membuat musuh kelihatan terlalu digdaya karena selalu sukses dalam konspirasinya atau membuat kita bersikap defensif karena selalu harus berhati-hati.
Kesembilan, harus ada pandangan masa depan yang visioner karena keputusan-keputusan kita hari ini merupkan input yang outputnya akan muncul beberapa tahun kemudian. Kita akan membayar harga mahal jika tidak meletakkan persoalan-persoalan strategis kita hari ini dalam kerangka visi masa depan yang jelas dan kuat.
Sungguh sangat naif bila ada kader yang tidak mau dikoordinir dan mematuhi hasil syuro. Salah satu penajajakan tarbiyah adalah dengan merasakan sendiri bagaimana pengalaman spiritual dakwah. Ketika gagal ia tidak merasa sakit, karena ini adalah tanggungan bersama. Tidak perlu ada risau dan merasa tidak didengar, mengerutu, dan tidak mau hadir.
Kenanglah, kedisiplinan sahabat kepada Rasulullah SAW, untuk terus mengikuti jalanan dakwah yang ditunai dengan embargo makanan, teror kesakitan dan isolasi, dan lain sebagainya. Namun pertahanan Rasulullah adalah sangat cakap, ia mencoba mencari tempat yang aman bagi sahabat untuk hijrah. Dan semua aman sampai perjanjian Hudaibiyah, ba’it aqobah 1 dan 2. Membangun basis yang tidak lagi mudah, karena akan dihantui perlakuan negatif dari musuh-musuh Islam yang sejak zaman nabi Ibrahim sampai sekarang berkeliaran berkonspirasi dan berniat menjarah kehidupan orang Islam. Mereka tahu cara melemahkan manusia. Dengan memutuskan hubungan Islam dalam segi kehidupan pribadi muslim, sehingga ia merasa ada pilihan hidup yang lain untuk menikmati hidup, tanpa mau bergerak. Sungguh panggilanlah yang mau menyentuh kedamaian dan kemauan untuk mau menegakkan syariah Islam dengan organisasi. Dalam buku tarbiyah siyasah dijelaskan, hukum-hukum Allah itu perlu dihidupkan dengan jamaah.
Bila dalam jamaah ada ketidakpercayaan dan tidak mutu jaringan, ingatlah kisah Abdullah bin Ubai yang menuturkan kabar bohong kepada rombongan hijrah ke Madinah tentang sayyidah Aisyah dan Sahabat Safwan. Rasulullah berniat menceraikan sayyidah Aisyah, peristiwa itu terjadi 5 H. Kalau saja para sahabat khilaf dan naif dengan berita bohong itu, maka mereka sedang tidak mentaati surah Al Ahzab ayat 1. Mudah saja menandainya, ingat saja ciri-ciri orang munafik.
Sahabat yang termakan kabar itu harus dicambuk 80 kali, seperti sahabat Misthah bin Utsatsah, Hassan bin Tsabit, dan Hamnah binti Jahsy. Betapa keras pendidikan Rasulullah. Namun kader-kader dakwah sekarang menyepelekan pengakuan, sok aksi, dan malas mengkonfirmasi kemauan dalam mengagendakan. Akibatnya koordinasi tidak masif, dan evaluasi kendur dari ketidakikutsertaan kader. Padahal salah satu dari sarat penting dalam amal jama’i adalah mulusnya transmisi jaringan ke dalam maupun keluar.
Mungkin ibadah mereka belum terjamin dan cara mereka berinteraksi dengan wahyu naqli masih lambat, sehingga panggilan spiritual (ruhul istajabah) tidak terdidik. Padahal salah satu nilai dari mutu organisasi adalah jaringan. Masih banyak yang perlu dipelajari dan dipahami mengenai mutu jaringan. Wallahu ‘alam bishawab, ‘asallahu an yakuffa baksalladzina kafaru,  

Bersambung….. Part 2 Makan PAPEDA (Paham, Pengertian, Datang), Part 3 Pada Agenda Penting.

Kamis, 09 Oktober 2014

Patriotisme dan Pilihan Hidup dalam Agama

            Di masa-masa kecil, pelajaran agama di sekolah saya sudah menegaskan pilihan hidup beragama. Karena pelajaran agama di sini adalah untuk anak yang beragama Islam. Selain itu memang tak disediakan guru agama untuk kerohanian dan spiritualitas untuk agama Kristen. Di sekolah yang bisa disebut pelosok desa, tempat saya belajar bernama SDN 013823, hanya ada pemeluk agama Islam dan Kristen.
 Kelak saya telah dewasa dan melanjutkan status saya sebagai pelajar urban, saya berteman dengan seorang teman yang kuliah di kampus elit, Universitas Ma Chung namanya. Karena wilayah yang melingkupi kampus itu memang mewah, di daerah Tidar, Malang. Begitu orang sering mendengarnya. Teman saya pernah bercerita bahwa walaupun dia beragama Islam, ada mata kuliah agama Tionghoa yang berjumlah 7 mata kuliah sebagai mata kuliah wajib . Ketika saya tanyakan tentang adakah pelajaran mengenai teologi, teman saya menjawab ada, di tingkat terakhir alias tingkat ke-7.
            Di SD saya pernah belajar mengenai cinta tanah air. Pengetahuan saya saat itu adalah bagaimana masyarakat di Indonesia ini bisa memerdekakan bangsanya dari penjajahan. Pokoknya sama dengan ABRI. Dan saya waktu itu adalah anak yang tak menjangkau media dan informasi apapun. Karena dunia saya hanya sebatas rute menuju rumah ke sekolah dan tempat mengaji. Saya tidak menyadari di saat saya tumbuh, ada seorang jenderal yang memimpin Indonesia ini selama 32 tahun. Kelak saya juga mengenal seorang diktator dan presiden Mesir, Hosni Mubarok yang memerintah selama 30 tahun. Artinya kalah dua tahun dari Soeharto. Sang jenderal.
            Masih berhubungan dengan cinta tanah air dari ingatan seorang anak SD, Soeharto dikenang dengan kudetanya untuk suksesi kepemerintahan. Yang saya ingat adalah tentang surat sebelas maret 1966. Semua jejak kepemimpinan presiden asal Blitar pun dibersihkan. Kita mengingat bahwa Soekarno adalah presiden yang pernah menggunakan nasakom dalam sistem pemerintahannya. Nah, karena ada penculikan berbagai perwira di lubang buaya, yang dikenal dengan G-30 S PKI, Soeharto agaknya mengira momen itu adalah pertanda bahaya eksistensi kader PKI bagi Indonesia. Maka ia pun dengan sigap membersihkan kader PKI sampai ke akar-akarnya sejak ia memimpin. Termasuk peraturan bagi orang Tionghoa yang masih ingin tinggal di Indonesia harus mengganti kewarganegaraannya menjadi Indonesia dengan mengganti namanya menjadi nama keindonesiaan. Yang sebenarnya kejawa-jawaan.
Karena negara seperti Korea Utara, China, dan Rusia adalah negara yang memakai sistem komunis-sosialis. Lawannya adalah blok Barat yang berideologi kapitalis-Liberalis. Produk blok Timur tadi ternyata menimbulkan banyak permasalahan di Indonesia. Soekarno sendiri adalah pemimpin yang berdiri di aliran nonblok. Ia melakukan politik konfrontasi dengan negara-negara pembentukan Inggris atau federasi seperti Malaysia dan Singapura.
            Dalam jangka waktu Soeharto memimpin yakni 1966-1998, ABRI adalah status yang pernah ada dan penting di Indonesia. Indonesia pun memakai sistem militerisme. ABRI menjadi sosok yang ditakuti. Yang mengganggu stabilitas politik Indonesia, akan diberantas, ditembak, dan disembunyikan (sampai tidak diketahui bangkainya). Banyak yang menuntut pencabutan dwi fungsi ABRI. Yang merambah dari pertahanan dan keamanan sampai ke sosial politik.
            Ternyata sosok ABRI saat itu memang cukup strategis menjaga keamanan dan keadilan, namun terlalu keras. Dan saya sendiri sepertinya secara fisik tidak memungkinkan menjadi ABRI.
            Kelak ketika saya sudah duduk di perkuliahan, saya sering membaca dan mendengar orang-orang tentang hadis, yang bunyinya ‘Mencintai Tanah air adalah sebagian dari iman’. Tanah air di sini adalah hari akhirat. Artinya pemeluk Islam dikerahkan agar memiliki kerinduan yang abadi dan adlihung dengan mendahulukan cinta tanah air tadi yang lebih mutlak.
            Di masa saya duduk di MAN, saya sudah diajari sepintas tentang hukum menjalankan kepemimpinan. Tepatnya di pelajaran fiqih. Ternyata fiqih adalah disiplin ilmu yang menjelaskan tentang perkara-perkara yang diatur hukum dan syariahnya. Termasuk juga siayasah (politik). Maka kriteria dan teori calon pemimpin yang disampaikan guru saya pun sesuai dengan wawasan keislaman yang selalu bertemu dengan bahasa Arab. Mengingat juga fiqih adalah ilmu yang amat klasik dari ulama-ulama Arab.
            Bagi saya agak aneh ketika dalam awal-awal perumusan pancasila, Islam adalah agama yang pernah dicantumkan di sila pertama. Sedangkan fiksasi pancasila sebagai konstitusi menyebutkan sila pertama diyakini adanya nilai pluralitas. Karena ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ menurut para perumus pancasila adalah untuk semua agama. Kristen, Hindu, Budha, Tionghoa dan terutama Islam yang mengakui Tuhan mereka adalah Yang Maha Esa.
Pada masa awal perkuliahan, di jurusan saya ada mata kuliah filsafat pancasila yang memuat di dalamnya banyak pembahasan mengenai sejarah pancasila, masyarakat madani, Jakarta Charter dan banyak hal lain.
Perdebatan suatu kali pernah terjadi. Lagi-lagi tentang sila pertama pancasila yang dinilai teman sekelas banyak menyimpan prinsip dan nilai keislaman. Walaupun dosen saya mengatakan bahwa sila lainnya juga memang sarat dengan Islam yang memang universal. Mereka (kelompok kontra) membayangkan ketidaksetujuan nonmuslim saat Islam adalah sistem yang dipakai di setiap lini kehidupan bermasyarakat. Mungkin mereka belum siap dengan kehidupan bernegara seperti di Brunei Darussalam. Atau masih tak bisa menerima dengan adanya polisi Syariah dari lembaga pemerintahan Aceh yang gencar meneriakkan syariah Islam, terutama menutup aurat.
Mereka tetap mendukung demokrasi. Yang bagi saya waktu itu demokrasi buta. Karena prinsip demokrasi saat itu adalah suara terbanyak adalah suara pemenang. Seperti pemilu. Sebuah produk imporan dari Amerika yang dikenal dengan budaya Barat. Jadi apabila dalam sebuah musyawarah tentang pelegalan lokalisasi di Jakarta misalnya, yang tidak setuju kalah satu suara, maka terputuslah harapan untuk memberantas penyakit AIDS, korban pemaksaan suami menjadi pekerja seks, dan lain sebagainya. Seperti saat negara-negara PBB mengusulkan untuk mengentikan penyerangan terhadap Syuriah, namun dengan hak vetonya AS yang absolut, maka penawaran itu pun apes nasibnya. Assad pun tak berkutik.
Maksud saya bukan tidak setuju dengan nilai demokrasi, namun ada penyalahgunaannya dalam keputusan. Teman saya yang kontra itu memang berpandangan parsial. Pejabat politik di Indonesia saya rasa tak senaif itu. Mereka berpikir pejabat politik yang pro dengan sila pertama sebagai sistem yang Islami akan menguasai Indonesia dan menjadi diktator. Sesungguhnya bukan, karena pemerintah Indonesia adalah generasi terpelajar dan berpikir moderen. Dan saya rasa mereka menjunjung nilai dan pengetahuan agamanya masing-masing.
Teman saya hanya berpikirkan bahwa pejabat dari partai politik Islam, pastilah beraliran keras dan akan menegakkan khilafah seperti yang pernah ada di peradaban Islam seperti di Arab Saudi, Kordova, Madinah, Baghdad, Turki. Ada bayangan yang menakutkan dalam hati mereka tentang hukum potong tangan dan syariah lainnya.
Padahal dengan sistem demokrasi di Indonesia sama sekali tidak diindahkan oleh masyarakatnya sendiri, apalagi sistem syariah. Terutama yang sering terlihat dalam melanggar demokrasi adalah dari kalangan publik figur. Contohny nikah beda-agama. Padahal di Indonesia ada pasal tentang menjalankan peribadatan sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Nah, agama mana yang didahulukan saat nikah beda agama ini telah ada? Maksudnya agama mana yang mengatur status pernikahan mereka? Kalau Islam jelas, pasangan pernikahan haram dari agama selain Islam dan keduanya harus melapor ke KUA dan mencatat nama mereka dalam buku pernikahan.      
Maka dari itu, rakyat yang cerdas adalah salah satu sosok masyarakat madani yang bisa menjadikan kehidupan ini sehat dengan berpikir dan bersikap lebih cermat dan kritis ketika isu dihadapkan ke wajah mereka. Namun faktanya bukan demikian, mereka secara tidak langsung dijajah media dengan perang pemikiran. Siapapun yang teliti tidaklah mungkin semua tindakan pembelokan kepribadian dan pemikiran ini dikerjakan oleh tangan-tangan misterius dari Indonesia. Pastilah ada tangan yang lebih halus dan berkelit. Karena sedikitnya kasus yang ditimpa oleh Indonesia dan Timor-Leste sudah mengidentifikasi gerakan licin itu. Contohnya negara Australia yang telah menyadap pembicaraan ibu negara Indonesia dan menahan paspor serta dokumen advokat Timor-Leste, Bernard Collery untuk mempermasalahkan Australia atas sangketa gas dan minyak bumi, berubah menjadi kasus spionase, penyadapan percakapan pemerintahan dan penahan dokumen yang saat itu akan berangkat ke Den Haag sebagai negara peradilan PBB.
Pelan-pelan tangan-tangan setan itu akan menggiring demokrasi di Indonesia menuju neoliberalisme dan neoimprealisme. Dengan terus melenakan perhatian pemuda yang lemah agama dan pengetahuan kepada kepribadian narsistik, sekuler, dan liberal. Ironinya sebagian dari kelas saya (yang kontra) tadi terikut juga gelombang itu.

Setidaknya moral pemuda yang berasaskan pancasila adalah presisi dan standar yang ditetapkan para leluhur untuk menunjukkan kecintaan terhadap Indonesia. Agamapun telah mengatur bagaimana sebuah masyarakat mengadakan sebuah pemerintahan atau kepemimpinan. Seperti perang dan hubungan dengan negara lain. Untuk melanggengkan atau baik dalam proses penyelenggaraan tadi, pelajaran agama dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi adalah bekal. Karena bila sudah dalam sebuah strukutural pemerintahan, godaan dari luar akan hinggap dan menuntut bagaimana pelajaran agama tadi sudah menjelma menjadi aqidah dan akhlak. Karena Indonesia adalah negara yang dipenuhi pemeluk Islam terbanyak. Yang artinya banyak belajar Islam dan dalam Islam diajarkan bersikap egaliter dan toleran, sehingga keyakinan terhadap pemuda dan pemimpin yang dekat dengan agama akan sukses dalam wilayahnya, semakin kuat.