Saya dan
Raksasa Senin
Malang
(15/9/2014). Dua langkah lebih maju telah saya lewati. Sekarang dan saya rasa
setiap hari, manusia akan diberi tantangan dengan apa yang dilihatnya.
Bagaimana ia mempertahankan ide dan organisasinya. Secara sederhana, manusia
tidak pernah lepas dari kungkungan eksistensi dan manusiawinya. Saya merasakan
KAMMI adalah organisasi yang diharapkan oleh orang-orang di kampus seperti UIN
Malang mampu melakukan perubahan geopolitik, menjadikan kampus tempat yang
paling nyaman untuk diskusi, menciptakan
suasana beretika, dan memanfaatkan fasilitas dari birokrat untuk kemaslahatan
mahasiswa.
Senin.
Saya telah mencatat dan memposting hari itu untuk membuka stand. Tujuan
utamanya untuk membuka pendaftaran agenda talkshow dengan bagi-bagi pembatas
buku. Tujuan lain,
merasakan dan mengobservasi zona dan atmosfir kampus yang akan menjadi lebih
cerah dan berwarna dengan varian OMIK dan OMEK. Seperti menjadi memorandum,
KAMMI termasuk organisasi sejawat lain menjatuhkan pilihan untuk nampang di
sore hari, di waktu MABA melaksanakan PPBA dan menunggu mereka selesai dan
mampir. Sebagian dari kelas tidak sesuai dengan jadwal keluar, para mahasiswa sudah banyak yang
menyandang tas dan bergerak bergerombol kesana-kemari. Di satu sisi, saya mengamati
momen untuk maba singgah adalah setelah selesai kuliah tadi, jadi kemungkinan
yang singgah adalah yang sudah salat dan memang ingin singgah.
Saya
berdua, dengan seorang kader dari KP. Seta Mahardika Caesar. Saya merasa tidak
percaya diri dengan atribut, bendera yang kecil, dan alas duduk yang sederhana.
Saya membawa dua buku, tetapi saya membaca al Ma’surat, sedangkan Seta karena
kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri seperti antena, saya suruh membaca buku
karangan Sayyid Quthb dengan iming-iming, dulu ada kader yang ingin masuk KAMMI
karena melihat yang jaga stand rajin membaca buku. Dia tergugah, dan saya
melanjutkan lafalan, sampai melihat dua orang kader LDK, Naufal dan Udi
berjalan menuju pohon besar di depan tangga besar membawa bendera yang dilipat
dan kemudian membentangkannya;IMMAN.
Saya dan Seta di bawah tangga
gedung B dekat tangga besar, di sana ada ACM. Sebuah klub asli Malang yang suka
menabuh gendang, warna mereka biru dan putih. Saya merasai bahwa Seta juga
ingin bergabung dengan mereka. Saya siap ditinggal. Sesekali Udi yang menyadari
keberadaan saya, mampir dan menyemangati. Stand KAMMI, berada paling pinggir,
di sebelahnya terus sampai menuju hampir ke mabna mahasiswi, penuh dengan
orang-orang yang duduk di bawah panji mereka, bak raksasa, saya dan Seta adalah
orang kecil. Sebenarnya di tempat saya, sudah terbentang bendera HMI, dengan
warna kejahatan, yakni hijau tua dan hitam. Tapi mereka tidak jahat. Warnanya
tidak memantul ke lantai karena kainnya kusam. Namun tak berapa lama setalah
itu, datang pula genderang paling berkuasa di UIN, PMII rayon al Faruq dari
fakultas Syariah. Sungguh mereka sangat besar, bahkan superioritasnya pun
memantul dari bendera besar kuning mereka pada lantai putih dekat saya dan Seta
duduk, seakan telah memindai daerah kekuasaannya, ingin membuat saya dan Seta
malu dan ciut.
Seta ingin pergi. Saya
perbolehkan, bukankah yang lainnya, patner saya juga pergi. Bukan pergi, sedang
sibuk sendiri, tepatnya. KD sedang menyusun strategi pendidikan pada kader, KP
sedang mencari suhu yang tepat untuk bertemu dan berlatih menjadi kompak, HUMAS
sukses dengan program pertamanya; KAMMI DAY, Danus seperti KP. Sedang PH, saya
melihat Latifah mau singgah saat melihat saya dan Udi sedang duduk, Udi
menyesali dan memesankan kepada saya untuk menyiapkan stand yang lebih baik
esok hari. Kestari sedang menjajaki peran tambahan di fakultasnya, yakni
asisten laboratorium. Dan Bendum, sedang diberi tenggat untuk menikmati
perjalanan dan kesibukan. Saya sendiri, karena Udi harus pergi, dia tak ingin
tercium sebagai kader yang pernah terlibat di KAMMI. Saya sendiri lagi, saya
menikmati. Ternyata Subhan datang, seorang teman Udi dan Naufal. Dia tertarik
dengan pembatas buku KAMMI. Dia mengambil tiga sekaligus. Tapi ia ingin
bergabung dengan Naufal dan Udi. Saya
sendiri lagi. kesendirian ternyata berkah bagi saya, karena momen itu halaman
buku tarbiyah siyasah hanya tinggal 7 halaman lagi.
Seorang berbadan besar,
mendekat. Wajahnya legam dan bibirnya hitam, duduk tidak sesuai tempat, dan
tertawa kencang. Di depan, orang-orang sedang tertawa, mata tertuju ke sana,
melihat iba kepada seorang yang diikat di atas tanah, seperti seorang tahanan
polisi, kedua tangan erat di atas pinggang. Dua tiga orang berlarian membawa
ember dan wadah seadanya, membawa air, dan menyiramkan orang tadi, dengan hina
dan merendahkan. Perempuan-perempuan di sana berteriak histeris dan merasa
jijk. Apakah air dari kamar mandi menjijikkan, mata memastikan, ternyata bukan
dari kamar mandi. Tapi dari bibir mereka, air sekantung meloncat dan mengenai
pipi si orang terikat, dua kali.
Namanya
Ma’mun, seorang mahasiswa semester 5. Saya berpendapat, lawan dia adalah
Syafi’i (KP), Ainun (HUMAS), Miftah (KD), Margaret (DANUS), Haris (HUMAS),
Ghina (HUMAS), Lana (HUMAS). Namun jangan coba-coba melawan HMI. Karena mereka
selalu mengandalkan sarjanah kalau berdiskusi. Yang adil, ya KAMMI, PMII, IMM,
dan IPNU kali ya.
Saya. “PMII kompak....”.
Ma’mun. “Kompaknya seperti
itulah mas”. Ma’mun menunjuk seorang yang terikat tadi, ia meludah, tapi tak
meloncat tinggi.
Kami bertukar informasi mengenai
keadaan dalam organisasi. Tak ada wajah dendam dan jahat dari wajahnya. Ia
hanya berbahasa Jawa dan tersenyum lebar. Sekalipun saya menyuruhnya duduk di
atas banner, ia menolak. Saya berikan pembatas buku juga, ia senang sedikit.
Saya ingin menyudahi pergelaran stand sederhana, ia berkata tentang KAMMI, ia
ingin KAMMI jangan bentrok dengan PMII, dan ambil bagian mewarnai kampus di
sore hari. Saya senang di sambut seperti itu. Saya pergi, dan Seta menghampiri,
saya persilahkan untuk pulang, karena sudah maghrib.
Saya cukup lelah dan
menyenangkan untuk menjadi lebih berani. Satu hal yang paling mengobati adalah,
ketika setelah selesai solat, saya melihat senior saya sedang berdoa. Damailah
hati saya. Saya terlalu senang melihat orang yang saya kenal dan selama ini tidak
pernah bertemu. Saya pandang saja, ia merangkul Syafi’i menuju ke luar kampus,
matanya tetap sayu, setiap saat. Rambutnya tidak merenggas keriting lagi, sudah
pendek.