Manusia adalah mahkluk pembelajar, karena Allah SWT melengkapi mereka
dengan perangkat penerimaan informasi, keyakinan, dan analisis. Takdir ini didukung
oleh bagaimana proses perkembangan biologis manusia, yang bernama sunnatullah.
Seperti proses perkembangan itu sendiri dimulai dari
sel-jaringan-organ-sistem organ-organisme. Atau proses pertumbuhan manusia,
yang dimulai dari bayi-balita-anak kecil- remaja- dewasa-lansia. Nah, pada
setiap perubahan manusia baik fisik maupun mental , secara berkala dan
sistematis memang ada proses penyesuaian terhadap lingkungannya pada setiap
diri manusia.
Seperti anak yang berkarakter pendiam atau introvert di masa kecil
rentang pendidikan SD kelas IV-VI, mau tidak mau harus merasakan interaksi
penyesuaian saat melanjutkan diri ke tingkat SMP dengan teman-teman yang
berbeda-beda.
Agar apa? ia mampu menampakkan kontestasi dan aktualisasi dirinya
terhadap lingkungan dan agar ada proses komunal dari lingkungan ke dalam
dirinya.
Allah SWT berfirman dalam surah al Insyikak ayat 19 yang
artinya...’’Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan)’’’.
Dan jangan ragu dengan semua hal asing yang akan
kamu temui nanti, karena Allah telah memberi jaminan, sebagaimana yang tersiar
dalam surah At Thalak ayat 7 yang artinya, ‘’ Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan
sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah
kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan’’
Satu kata yang tepat untuk bisa bertahan dalam
fase-fase asing di luar pengetahuan diri
manusia, yakni belajar. Belajar itu disebut tantangan, ada suatu yang
dipelajari, terus dipahami, terus diamalkan, dan disebarkan. Belajar, belajar,
belajar. Apakah kita mau menerima proses belajar atau tidak? Di situ letak
tantangannya. karena dalam belajar itu sendiri, ada kebenaran yang terungkap,
ada mekanisme yang tersusun, dan ada satu langkah lebih dekat dengan takwa kepada
Allah SWT.
Pembelajar sejati adalah seseorang
yang mengembangkan keilmuannya secara terus-menerus sampai akhir kehidupan,
sampai akhir usia. Sikap mau belajar dan mempelajari juga penting untuk dimiliki.
Karena begitu banyak orang tidak mau diberi atau dijelaskan dengan pengetahuan
di luar wawasan dirinya, ia sombong dan hasilnya cukup mengerikan untuk diketahui.
Kalau pengen tahu, silahkan buka surah al Bakarah ayat 6.
Dan setiap orang berbeda-beda dalam menyerap dan menstabilkan gerak
hatinya ketika ia punya pengetahuan dan pengetahuan tersebut tidak bisa
mengimbangi pengetahuan orang lain. Artinya, butuh sikap menerima atau biasa
disebut tawadhlu, terhadap apa-apa tentang dunia orang lain dalam jagat
informasi yang tidak kita ketahui.
Hal ini biasa, karena manusia memang bertabiat ingin tampil terbaik. Dan
efek lain dari ketidakmampuan diri seseorang bila dihadapkan dengan orang lain
adalah jatuhnya perasaan pada titik kegagalan.
Baik gagal karena belum memperbaharui wawasan, gagal belum memiliki jiwa besar,
gagal karena hal tersebut luput untuk diketahui atau diperhatikan, dan hal-hal
lain yang lebih dari sisi orang lain tetapi kurang karena penilaian diri
sendiri.
Jangan menyerah dan apalagi bersedih, begitu Allah memberi semangat. Kecewa
dan rasa suntuk memang akan segera menyergap batin. Kita butuh memperlebar
hati dan menerimanya dengan sikap sabar dan
mau belajar. Mau belajar ini adalah sikap utama pembelajar sejati.
Begini motivasi Ustaz Anis Matta mengelola kegagalan dalam buku
Mencari Pahlawan Indonesia; banyak orang yang lebih suka mengutuk kegagalan dan
menganggapnya sebagai musibah dan cobaan hidup. Kita mungkin tidak akan melakukan
itu seandainya di dalam diri kita ada kebiasaan untuk memandang berbagai
peristiwa kehidupan secara objektif, ada tradisi jiiwa besar, ada kelapangan
dada, dan pemahaman.
Ada berkah kata Ustaz Anis Matta dalam setiap memaknai kegagalan. Intisarinya
adalah bahwa kegagalan berfungsi menguatkan dorongan untuk sukses dalam diri seseorang.
Apalagi kata yang lebih tepat dalam proses pencapaian diri kalau bukan
dengan belajar. Belajar yang paling tepat adalah dalam lingkungan jamaah
(organisasi). Apalagi dalam jamaah harokiyyah (organisasi pergerakan;
action). Seseorang yang terlibat atau melibatkan diri dalam jamaah adalah
orang yang ingin diakleresi kemampuan dasar dirinya dan akan diendapkan potensi
baru dalam jiwanya dan berkembangya potensi baru tersebut. Dalam organisasi
pula, banyak ativis dakwah mempelajari dan menemukan arti dan hikmah dari ayat-ayat
dan alhadis,lesson applicated. Mengenali dan mau menyesuaikan diri dalam
prospek dan visi jamaah yang begitu luhur itu sulit, tetapi bisa dipelajari….
Dan sejujurnya, lingkungan yang terbaiklah mendorong seseorang untuk
menemukan motivasi belajarnya. Karena bila dilihat banyak para akademisi
seperti Ir. Irene seorang muslimah yang konvert dari agama kristiani kepada
Islam melalui hidayah Allah, karena berada dalam lingkungan yang penuh ketidakpastian
adalah saat menempuh program teologi Islam jenjang doktoral. Motivasi penelusuran
dan mau belajar agama mendorongnya mencapai pada Islam.
Dibenturkan, dihadapkan dengan masalah, kegagalan dan dibuat ragu
seharusnya membuat kita mau belajar lebih banyak. Apalagi ini perintah dan
titah Allah dan anjuran Rasulullah.
Pernah tahu, Sigmeund Freud? hahahah, dia terjebak dengan teorinya
sendiri tentang psikoanalisa. Koit. Orang pandai sekalipun tidak menjamin
adanya sikap mau menerima dan memperluas jangkauan berpikir. Dan mungkin sikap
ini sama dengan turunnya hidayah Allah.
Idealnya dalam jamaah ada sprit saling berkompetisi, saling menaikkan
derajat keilmuan dan pengalaman. Agar ada pemanas dan pemantik kemaun belajar
yang tak habis-habis.
Oia, syarat selanjutnya untuk menjadi pembelajar sejati adalah rela
berkorban.
Siap jadi pembelajar sejati…?