Jumat, 29 Mei 2015

Pembelajar Sejati (The Real Student)

Manusia adalah mahkluk pembelajar, karena Allah SWT melengkapi mereka dengan perangkat penerimaan informasi, keyakinan, dan analisis. Takdir ini didukung oleh bagaimana proses perkembangan biologis manusia, yang bernama sunnatullah.
Seperti proses perkembangan itu sendiri dimulai dari sel-jaringan-organ-sistem organ-organisme. Atau proses pertumbuhan manusia, yang dimulai dari bayi-balita-anak kecil- remaja- dewasa-lansia. Nah, pada setiap perubahan manusia baik fisik maupun mental , secara berkala dan sistematis memang ada proses penyesuaian terhadap lingkungannya pada setiap diri manusia.
Seperti anak yang berkarakter pendiam atau introvert di masa kecil rentang pendidikan SD kelas IV-VI, mau tidak mau harus merasakan interaksi penyesuaian saat melanjutkan diri ke tingkat SMP dengan teman-teman yang berbeda-beda.
Agar apa? ia mampu menampakkan kontestasi dan aktualisasi dirinya terhadap lingkungan dan agar ada proses komunal dari lingkungan ke dalam dirinya.
Allah SWT berfirman dalam surah al Insyikak ayat 19 yang artinya...’’Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan)’’’.
Dan jangan ragu dengan semua hal asing yang akan kamu temui nanti, karena Allah telah memberi jaminan, sebagaimana yang tersiar dalam surah At Thalak ayat 7 yang artinya, ‘’ Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan’’
            Satu kata yang tepat untuk bisa bertahan dalam fase-fase asing di luar  pengetahuan diri manusia, yakni belajar. Belajar itu disebut tantangan, ada suatu yang dipelajari, terus dipahami, terus diamalkan, dan disebarkan. Belajar, belajar, belajar. Apakah kita mau menerima proses belajar atau tidak? Di situ letak tantangannya. karena dalam belajar itu sendiri, ada kebenaran yang terungkap, ada mekanisme yang tersusun, dan ada satu langkah lebih dekat dengan takwa kepada Allah SWT. 
            Pembelajar sejati adalah seseorang yang mengembangkan keilmuannya secara terus-menerus sampai akhir kehidupan, sampai akhir usia. Sikap mau belajar dan mempelajari juga penting untuk dimiliki. Karena begitu banyak orang tidak mau diberi atau dijelaskan dengan pengetahuan di luar wawasan dirinya, ia sombong dan hasilnya cukup mengerikan untuk diketahui. Kalau pengen tahu, silahkan buka surah al Bakarah ayat 6.
Dan setiap orang berbeda-beda dalam menyerap dan menstabilkan gerak hatinya ketika ia punya pengetahuan dan pengetahuan tersebut tidak bisa mengimbangi pengetahuan orang lain. Artinya, butuh sikap menerima atau biasa disebut tawadhlu, terhadap apa-apa tentang dunia orang lain dalam jagat informasi yang tidak kita ketahui.
Hal ini biasa, karena manusia memang bertabiat ingin tampil terbaik. Dan efek lain dari ketidakmampuan diri seseorang bila dihadapkan dengan orang lain adalah jatuhnya perasaan pada titik  kegagalan. Baik gagal karena belum memperbaharui wawasan, gagal belum memiliki jiwa besar, gagal karena hal tersebut luput untuk diketahui atau diperhatikan, dan hal-hal lain yang lebih dari sisi orang lain tetapi kurang karena penilaian diri sendiri.
Jangan menyerah dan apalagi bersedih, begitu Allah memberi semangat. Kecewa dan rasa suntuk memang akan segera menyergap batin. Kita butuh memperlebar hati  dan menerimanya dengan sikap sabar dan mau belajar. Mau belajar ini adalah sikap utama pembelajar sejati.
Begini motivasi Ustaz Anis Matta mengelola kegagalan dalam buku Mencari Pahlawan Indonesia; banyak orang yang lebih suka mengutuk kegagalan dan menganggapnya sebagai musibah dan cobaan hidup. Kita mungkin tidak akan melakukan itu seandainya di dalam diri kita ada kebiasaan untuk memandang berbagai peristiwa kehidupan secara objektif, ada tradisi jiiwa besar, ada kelapangan dada, dan pemahaman.
Ada berkah kata Ustaz Anis Matta dalam setiap memaknai kegagalan. Intisarinya adalah bahwa kegagalan berfungsi menguatkan dorongan untuk sukses dalam diri seseorang.
Apalagi kata yang lebih tepat dalam proses pencapaian diri kalau bukan dengan belajar. Belajar yang paling tepat adalah dalam lingkungan jamaah (organisasi). Apalagi dalam jamaah harokiyyah (organisasi pergerakan; action). Seseorang yang terlibat atau melibatkan diri dalam jamaah adalah orang yang ingin diakleresi kemampuan dasar dirinya dan akan diendapkan potensi baru dalam jiwanya dan berkembangya potensi baru tersebut. Dalam organisasi pula, banyak ativis dakwah mempelajari dan menemukan arti dan hikmah dari ayat-ayat dan alhadis,lesson applicated. Mengenali dan mau menyesuaikan diri dalam prospek dan visi jamaah yang begitu luhur itu sulit, tetapi bisa dipelajari….
Dan sejujurnya, lingkungan yang terbaiklah mendorong seseorang untuk menemukan motivasi belajarnya. Karena bila dilihat banyak para akademisi seperti Ir. Irene seorang muslimah yang konvert dari agama kristiani kepada Islam melalui hidayah Allah, karena berada dalam lingkungan yang penuh ketidakpastian adalah saat menempuh program teologi Islam jenjang doktoral. Motivasi penelusuran dan mau belajar agama mendorongnya mencapai pada Islam.
Dibenturkan, dihadapkan dengan masalah, kegagalan dan dibuat ragu seharusnya membuat kita mau belajar lebih banyak. Apalagi ini perintah dan titah Allah dan anjuran Rasulullah.
Pernah tahu, Sigmeund Freud? hahahah, dia terjebak dengan teorinya sendiri tentang psikoanalisa. Koit. Orang pandai sekalipun tidak menjamin adanya sikap mau menerima dan memperluas jangkauan berpikir. Dan mungkin sikap ini sama dengan turunnya hidayah Allah.   
Idealnya dalam jamaah ada sprit saling berkompetisi, saling menaikkan derajat keilmuan dan pengalaman. Agar ada pemanas dan pemantik kemaun belajar yang tak habis-habis.
Oia, syarat selanjutnya untuk menjadi pembelajar sejati adalah rela berkorban.
Siap jadi pembelajar sejati…?