Senin, 10 Desember 2012

Tauhid Sebagai Pondasi Ekonomi Syariah


Berbicara tentang ekonomi syariah, maka kita tak dapat melepaskannya dari nilai-nilai dasar yang menjadi pijakannya, yaitu ketauhidan kepada Allah swt. Sebagai seorang muslim, tentunya kita yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah-lah yang  mencipta dunia dengan segala isinya, Dia pula yang menciptakan, mengurus, mengatur dan mencukupi seluruh kebutuhan makhluknya.

Manusia sebagai ciptaan Allah yang paling sempurna, dalam kehidupannya di dunia ini memiliki dua tugas utama : sebagai ‘hamba’ yang mengabdikan dirinya untuk beribadah kepada Allah, dan sebagai ‘khalifah’ yang mendedikasikan hidupnya untuk memakmurkan, menyejahterakan, mengamankan bumi Allah. Namun di lain sisi, manusia juga diberikan oleh Allah potensi untuk sesat, merusak dan menumpahkan darah.

Maka untuk menjalankan tugasnya itu, Allah pun memberikan petunjuk kepada ummat manusia melalui “kalam”-Nya yang terjaga (Al-Quran) dan keteladanan dari RasulNya yang mulia (As-Sunnah). Jika petunjuk ini yang menjadi pegangan, pijakan dan landasan bagi manusia dalam menjalankan tugasnya sebagai ‘hamba’ dan ‘khalifah’, maka misinya untuk beribadah, memakmurkan dan mengamankan bumi Allah akan terealisasi. Namun jika manusia berpaling dari petunjuk itu, maka kesesatan, kerusakan dan pertumpahan darah itulah yang akan terjadi.

Dari sini dapat kita pahami bahwa segala aktivitas manusia dalam seluruh lini kehidupannya, termasuk kegiatan social dan ekonomi (muamalah), adalah bagian dari ibadah. Sehingga dalam penerapannya, haruslah berlandaskan pada nilai-nilai ketauhidan kepada Allah, nilai-nilai Al-Quran dan Sunnah. Tidak boleh menghalalkan segala cara, hanya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Jad,i dalam Islam kegiatan ekonomi itu bukan hanya untuk mencari keuntungan duniawi semata, namun juga sebagai bentuk ibadah kepada Allah, sebagai sarana untuk mecari ‘keuntungan’ akhirat. Orientasi akhirat inilah yang menjadi ‘furqan’ (pembeda) antara ekonomi syariah dengan ekonomi konvensional.

Selain dalam hal orientasi, perbedaan mendasar lainnya antara sistem ekonomi syariah dengan sistem ekonomi konvensional adalah paradigma berfikir yang dibangunnya. Para pengusung ekonomi konvensional meyakini bahwa “sumberdaya itu terbatas” sedangkan “kebutuhan manusia tidak terbatas”. Atau dengan kata lain, mereka beranggapan bahwa sumberdaya yang tersedia jauh lebih sedikit daripada jumlah manusia. Ini adalah tuduhan yang keji terhadap Allah! Seolah-olah Allah tidak teliti menciptakan manusia dan sumberdaya dengan tidak seimbang.

Padahal tidak satupun makhluk yang ‘bergerak’ di bumi ini, melainkan telah Allah jamin rezkinya. Kata kuncinya adalah ‘bergerak’. Jadi selama manusia mau bergerak, bekerja, berusaha dengan mengerahkan segala potensinya untuk mencari ‘karunia’ Allah, maka pasti akan Allah jamin rezkinya, akan Allah cukupi kebutuhan-kebutuhannya, bahkan dari ‘jalan yang pernah disangka-sangka’. Dan Allah punya cara sendiri untuk membagikan rezki kepada seluruh makhluk-Nya.
Sejak masa Nabi dahulu, tanah Arab itu sudah memiliki kandungan minyak yang melimpah, namun tidak digunakan, tidak terksplorasi, karena memang Allah belum berikan ilmunya. Baru seabad terakhir ini manusia diberi ‘sedikit’ ilmu tentang minyak, dan itu sudah menjadi solusi bagi banyak kebutuhan manusia.

Kemudian Allah berikan ‘sedikit’ ilmu tentang komunikasi, dan itu sudah menjadi solusi bagi banyak persoalan manusia. Berapa banyak orang yang ‘mengais’ rezkinya dari bidang ini, dan berapa banyak pula yang menjadi kaya-raya karenanya.

Manusia baru di beri ilmu sedikit saja, namun mereka sudah menuduh Allah tak mampu menyediakan rezki yang cukup bagi ciptaannya. Padahal mereka belum mencapai ilmu dimana container dapat dipindahkan realtime seperti SMS. Maha suci Allah dari segala yang mereka tuduhkan.

Paradigma seperti inilah yang mengkonstruk prilaku-prilaku zalim, curang, dan cenderung menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dalam kegiatan perekonomian mereka, hanya karena ketamakan dan takut tidak kebagian ‘jatah’.

Namun Islam telah mengajarkan kepada kita bahwa sesungguhnya “sumberdaya itu tak terbatas” sendangkan “kebutuhan manusia itu terbatas”. Itulah sebabnya, kenapa kita harus senantiasa menjunjung tinggi predikat ‘halal’ dalam setiap transaksasi ekonomi kita.

Dalam Islam, setiap orang dibenarkan untuk menikmati hartanya seseuai dengan kebutuhannya, tidak berlebih-lebihan, tidak ‘mubazir’ dan tidak berfoya-foya. Dan kita diperintahkan untuk ‘mengeluarkan’ sebagian dari kelebihan harta kita untuk kepentingan agama dan orang-orang yang membutuhkannya. Karena di dalam harta kita juga terdapat hak mereka, yang meminta-minta maupun yang ‘menahan’ tangannya. Maka dengan paradigma seperti ini, nilai-nilai kejujuran, keadilan, kesetaraan, dan kepedulian social menjadi prinsip yang tak terpisahkan dari ekonomi syariah.
Allahu a’lam

Oleh : Eko Priadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar