Senin, 10 Desember 2012

KAMMI dan Pemilihan Rektor

Dalam diskusi dwi mingguan KAMMI Komisariat UIN Maliki Malang yang bertajuk “Memilih Pemimpin, Memilih masa depan. Memotret Harapan Mahasiswa untuk Pemimpin Ideal UIN Maliki Malang”. KAMMI kembali menegaskan bahwa mahasiswa harus mempunyai haknya memilih rektor. Kehidupan demokrasi ditentukan pula dengan pemilihan rektor ini. Tanpa kontribusi mahasiswa di dalam pemilihan rektor ini, maka jelas sudah bahwa keran demokrasi telah rusak di kampus UIN Maliki Malang ini. Mahasiswa sebagai tatanan masyarakat yang paling penting, seharusnya menduduki kewenangan dalam pemilihan rektor ini. Setidaknya kontribusi minimal yang paling nyata untuk keberlangsungan hidup mahasiswa yang tidak ingin ditekan oleh birokrasi kampus yang hanya menekankan kepada kerja-kerja budak perusahaan kelak adalah ingin didengar suara dan harapan bagaimana seharusnya rektor yang ideal menurut mahasiswa walaupun tidak mesti harus mencoblos untuk kepemimpinan rektor ke depan.
KAMMI dan Mahasiswa
KAMMI dalam dimensi pergerakan mahasiswa yang dinamis, harus mampu mengakomodasi moment ini, untuk membangunkan kesadaran berfikir mahasiswa agar ia lebih peduli dengan keadaan kampus yang sebenarnya terjadi. KAMMI harus menjadi katalisator bergabungnya seluruh elemen mahasiswa dengan mengatasnamakan elemen mahasiswa peduli kampus. Dan KAMMI harus menunjukkan keadaan mendesak yang harus diubah di kampus UIN Maliki Malang ini. Karena hingga saat ini, mahasiswa benar-benar terbuai dengan kata-kata indahnya pak Rektor. Entah apa yang disampaikan itu bisa dibuktikan janjinya? Sehingga, saat ini mahasiswa benar-benar ’sepi’ dari dinamika politik pemilihan rektor.
Buaian kata-kata indah dan doktrinasi mahasiswa agar cepat lulus dengan harapan menjadi budak-budak perusahaan menjadi ‘kartu As’ birokrasi untuk mengekang dan memenjarakan mahasiswa di jeruji akademik. Akhirnya mahasiswa disibukkan dengan tugas-tugas yang menumpuk dan juga pada akhirnya akan berorentasi kepada nilai, bukan pemahaman. Lalu kemudian, apa bedanya mahasiswa dengan siswa-siswa SMA lainnya? Jika kemudian tugasnya sama, mengerjakan tugas, kemudian orentasi hanya kepada nilai, dan akhirnya lulus.
Mahasiswa harus kembali menanyakan, ‘bagaimana kalau rektor ini memimpin?’, ‘Apa yang ingin dia bawa untuk kemajuan universitas ini?’, pertanyaan-pertanyaan inilah yang harus menjadi sebuah perenungan panjang mahasiswa. Kali ini, ada satu kepentingan bersama yang harus kita akomodasi bersama, tidak mungkin dilakukan oleh PMII, dan tidak mungkin dilakukan oleh HMI, dan tidak mungkin dilakukan oleh KAMMI dan pergerakan-pergerakan mahasiswa lainnya. Kali ini, seluruh mahasiswa harus bergerak. Ini menentukan nasib mahasiswa sebagai rakyat di sebuah komunitas bernama universitas. Mahasiswa harus mengawal dengan baik pemilihan rektor ini, agar ia jauh dari politik transaksional yang busuk. Kita harus benar-benar menginginkan rektor yang lahir dari rahim transformasional, yang lahir dari pemahaman akan visi,misi dan filosofi universitas ini dengan baik.
KAMMI dan Rektor
KAMMI menganggap bahwa rektor adalah representative dari universitas tersebut. Kita melihat bagaimana kecakapan sebuah universitas dari bagaimana sosok rektor yang memimpinnya. Tentu kita tidak ingin, suatu saat nanti rektor yang memimpin kita ini misalnya adalah rektor yang ternyata tersandung kasus korupsi. Karena, begitu rektor benar-benar menjadi seorang tersangka, maka citra universitas ini akan jatuh, dan label yang tersemat di universitas tentunya bukan sebagai wadah akademik para mahasiswa untuk menimba ilmu, tapi wadah para calon koruptor di bangsa ini.
Begitu pula, mungkin misalnya calon rektor nanti adalah seorang yang plagiator yang karya ilmiahnya ternyata adalah hasil dari plagiat orang lain. Tentu universitas ini, tidak ingin dicap sebagai kampus yang mahasiswa adalah orang-orang plagiator. Tentu, kita tidak bisa menyalahkan orang dengan penilaian yang sempit ini, karena memang seperti itulah realita yang ada saat ini. Dan kita tidak bisa memungkirinya.
Dan tentu pula, kita tidak ingin calon rektor yang memimpin nantinya adalah orang yang menghambat berjalannya proses demokrasi yang ada di universitas saat ini. Tidak ada kedekatan sama sekali dengan mahasiswanya, tidak bisa atau sangat anti dengan kritik-kritik pedas yang dilontarkan oleh mahasiswanya. Rektor juga harus bisa melihat bagaimana komunitas heterogen yang terbentuk di universitas ini harus dijaga dengan baik. Kritikan yang pedas sekalipun juga harus bisa didengar dan tidak serta merta ditanggapi dengan perasaan bahwa mahasiswanya telah berupaya menggulingkannya. Rektor juga harus bisa membangun bagaimana sebuah kritik itu tidak terjatuh kepada kritik destruktif akan tetapi mengajarkan kepada mahasiswa agar lebih kritis tapi kritis yang konstruktif, kritik yang membangun.
Saat ini kita melihat memang tidak ada dari mahasiswa yang mendengar hingar bingar bahwa akan ada pergantian rektor. Semestinya, momen sebesar ini mahasiswa harus tahu, biarkan mahasiswa juga ikut memberikan suatu kriteria ideal rektor dalam pemilihan ini. Tidak mungkin mahasiswa harus mengikuti peraturan dari rektorat sedangkan wakil mahasiswa tidak dilibatkan didalamnya. Ini seolah-olah sistem yang berjalan adalah ingin memenjarakan demokrasi.
Pelibatan wakil mahasiswa dalam pemilihan rektor tentu akan membuat mahasiswa terwakili dengan adanya suara disana. Dan tentunya mahasiswa yang ditunjuk sebagai wakil mahasiswa juga harus mahasiswa yang idealis, yang tidak terpukau dengan transaksi-transaksi kecil dari calon rektor.
KAMMI dan Harapan Ideal Rektor
Memang tidak besar nantinya KAMMI dalam proses pemilihan rektor, tapi dengan tulisan ini setidaknya KAMMI mewakili suaranya dalam pemilihan rektor. Harapan besar untuk rektor ke depan memang menjadi sebuah solusi bagi seluruh civitas akademika universitas. Berbicara rektor ke depan berarti kita akan berbicara bagaimana universitas ini ke depannya. Akankah rektor selanjutnya bisa melebihi kegemilangan rektor sebelumnya ataukah justru sebaliknya.
Tentunya, rektor yang ideal nantinya adalah rektor yang mampu meneruskan visi universitas yang tetap bercirikan sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan berintegrasi dengan keislaman. Pohon Ilmu dalam perspektif Islam adalah mahakarya kampus ini, ia muncul atas perenungan tokoh pendahulu mengenai dikotomi Ilmu pengetahuan yang berkembang dalam dunia pendidikan. Rektor selanjutnya tidak hanya menjadikan hal ini sebagai kebanggaan, tapi bertanggung jawab untuk meneruskan pewarisan konsep pohon ilmu perspektif Islam dalam aplikasinya pada proses belajar mengajar di kelas, materi pembelajaran, dan perilaku akademis para civitas akademika UIN Malang.
Kemudian, rektor yang ideal adalah rektor yang memberikan nafas bagi gerakan-gerakan mahasiswa untuk berdinamika di kampus ini. Rektor yang terus memompa mahasiswanya agar tetap kritis kepada kebijakan-kebijakan birokrasi jika ada yang tidak pro-mahasiswa. Mahasiswa adalah rakyat yang harus tetap dipertahankan kedaulatannya. Dengan seperti itu, maka dinamika di kampus ini akan berjalan dengan progresif, karena semua elemen di kampus ini merasakan jatuh bangun bersama. Bukan hanya jatuh bangun di atas saja, tapi dibawah juga harus benar-benar merasakannya.
Dan terakhir adalah sosok rektor yang selalu berpihak kepada kepentingan mahasiswa, rektor yang nantinya akan terpilih harus lebih sering mendengarkan masukan-masukan dari para mahasiswanya juga.

Wallahu a’lam

Muhammad Syafullah Robbani - Ketua Umum KAMMI UIN Maliki Malang

Selayang Pandang Perjuangan Politik Islam di Indonesia


Dalam Islam, kita mengenal istilah as-siyasah yang dalam bahasa Indonesia kita kenal dengan kata politik. Siyasah sendiri dapat diartikan sebagai strategi, siasat, seni mengatur urusan ummat, urusan negara. Islam tidak dapat dipisahkan dari politik, dan politik juga tidak dapat dipisahkan dari Islam. Memisahkan keduanya, berarti menolak kesempurnaan Islam. Karena Islam adalah agama yang sempurna, yang mengatur seluruh lini kehidupan manusia. Namun begitu, masih kita dapati sebagian dari ummat muslim sendiri yang menolak kenyataan ini, padahal Allah perintahkan kepada kita: udkhulu fis silmi kaaffah (masuklah kedalam islam secara total keseluruhan!)

Maksud total menyeluruh (kaffah) itu ialah dalam seluruh lapangan dan sektor kehidupan, baik dalam lingkup individu, masyarakat dan negara, harus islami atau berlandaskan islam. Politik, ekonomi, pendidikan, sosial, budaya dan lain-lain, seluruhnya harus berlandaskan nilai-nilai Islam. Maka dari itu, kedudukan negara menjadi penting sebagai sarana untuk merealisasikan kekaffahan dan kesyumulan Islam, serta menjalankan perannya sebagai rahmatan lil alamin. Sehingga mewujudkan negara (daulah) islam itu mutlak diperlukan.

Jika kita melihat sejarah, maka akan kita dapati bahwa sejak pertama kemunculannya, ummat muslim telah berada dibawah satu naungan negara (madinah) dengan satu komando politik yang dipimpin langsung oleh Rasulullah saw, yang kemudian beralih kepada institusi khilafah setelah wafatnya Rasulullah saw. Dan kondisi ini masih terus berlangsung hingga penghujung abad ke XIX.

Namun pasca runtuhnya kekhilafah Islam Turki Usmani pada 3 Maret 1924 silam, ummat muslim tidak lagi bersatu, baik dalam tatanan politik maupun teritorial. Negeri-negeri Islam terpecah menjadi puluhan negara-negara kecil, sistem politik sekuler, liberal dan komunis menguasai pemerintahannya, ikatan akidah yang menjadi pemersatu ummat pun kini berganti menjadi ikatan bangsa (nasionalisme) yang semakin merobek-robek persatuan dan kesatuan ummat. Akibatnya, dapat kita saksikan sendiri bagaimana suatu negara muslim saling berperang, saling berkonfrontasi, saling memojokkan dengan negara muslim lainnya.

Runtuhnya institusi khilafah Islam sebagai pemersatu ummat dalam politik dan kenegaraan ini memiliki dampak yang besar. Kemunduran drastis pun dialami ummat muslim, bahkan hingga  saat ini sulit rasanya untuk menegakkan kembali khilafah Islamiyah. Sebagai jawaban atas kondisi ini, harokah-harokah islam pun bermunculan dengan manhaj dan metode perjuangannya masing-masing, yang semuanya bermuara pada satu cita dan tujuan : tegaknya kembali khilafah islamiyah.

Dalam konteks indonesia, ummat muslim indonesia pun tak ketinggalan mengambil perannya dalam upaya memperjuangkan tegaknya kembali negara Islam, baik lewat perjuangan secara politik maupun secara militer (perjuangan bersenjata). Sejarah mencatat Syarekat Islam sebagai partai politik islam pertama yang berhasil menggalang persatuan dan kesatuan ummat muslim di nusantara. Meskipun akhirnya bubar sebelum berhasil mewujudkan misinya merealisasikan negara Islam Indonesi yang merdeka dan berdaulat, akibat makar yang dilakukan oleh penjajah kafir belanda.

Pada tahap berikutnya, ummat muslim indonesia hampir saja berhasil mewujudkan Indonesia yang berasaskan Islam jika saja tidak dikhianati oleh makar-makar kaum nasionalis yang menghapus tujuh kata dalam dasar negara indonesia : kewajiban menjalankan syariat islam bagi para pemeluknya. Kemudian pada awal kemerdekaan, muncul pula perlawanan bersenjata dari Darul Islam pimpinan SM. Kartosuwiryo yang bertekad mewujudkan Negara Islam Indonesia yang berdaulat, walaupun akhirnya dapat dikalahkan oleh tentara nasionalis sebelum berhasil meujudkan misinya. Dan pada masa orde lama sampai awal orde baru muncul Masyumi sebagai parpol islam yang mampu menyatukan seluruh kekuatan politik ummat, meskipun akhirnya juga mengalami hal yang sama dengan para pendahulunya : hancur oleh tangan penguasa.

Bubarnya Masyumi menandai kemunduran peran serta ummat dalam panggung perpolitikan nasional. Karena setelah itu, Soeharto sang diktator mengambil tindakan represif terhadap gerakan islam dengan menangkapi dan bahkan membunuh para aktivisnya yang tetap istiqomah memperjuangkan islam sebagai ideologinya.

Pasca reformasi, angin segar bagi perjuangan penegakan islam di indonesia kembali berhembus. Berbagai ormas dan partai politik yang mengusung ideologi islam pun naik ke permukaan. Dan opsi pemberlakuan syariah islam pun bergulir di lembaga legislatif, meskipun akhirnya kembali mengalami kegagalan akibat ‘kejahilan’ sebagian ummat terhadap agamanya sendiri, sehingga mereka beranggapan bahwa syariah islam adalah momok menakutkan yang harus dijauhkan dari pemerintahan.

Dan akhirnya kerinduan ummat yang telah lama menantikan hadirnya kekuatan politik yang benar-benar komitmen dengan nilai-nilai islam terjawab sudah. Lahirnya partai-partai islam ini membawa harapan baru bagi perjuangan penegakan Islam di Indonesia. Kehadiran partai ini kembali melekatkan islam sebagai kekuatan politik yang telah sekian lama ditekan oleh rezim orde baru. Menegarakan Islam merupakan misi dari partai ini, di mulai dari tahapan yang paling kecil : membentuk pribadi-pribadi muslim sejati, kemudian membina keluarga yang islami, selanjutnya membentuk masyarakat yang islami, memperbaiki sistem pemerintahan agar berjalan sesuai dengan nilai-nilai islami sampai akhirnya Islam benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh dunia. Wallahu a’lam

Oleh : Eko Priadi, Staff Kaderisasi KAMMI UIN Maliki Malang

Ormas Islam Indonesia : Bilakah Tiba Saatnya Bersatu?


Berbicara mengenai kiprah islam di Indonesia, tentu tidaklah dapat disamakan dengan negeri-negeri muslim lainnya. Indonesia dengan keragaman suku, ras dan budayanya memiliki karakteristik dan cara yang berbeda dalam menegakkan islam di buminya. Di sisi lain, keragaman ini menyebabkan sulitnya mengumpulkan seluruh tokoh-tokoh Islam dengan pemahaman yang sama, sehingga dapat dikatakan bahwa sampai saat ini belum ada kepemimpinan Islam yang dapat diterima oleh semua golongan lapisan masyarakat Indonesia secara menyeluruh.

Akibatnya, dapat kita saksikan sendiri betapa beragamnya gerakan Islam yang muncul di Indonesia dengan beragam manhaj dan metode perjuangannnya masing-masing. Mulai dari yang berskala lokal, nasional sampai internasional, baik yang bercorak tradisional maupun modern, semua ada di indonesia.

Terdapat beberapa organisasi Islam di Indonesia, diantaranya yang bersifat nasional antara lain Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Al-Irsyad yang pada awalnya bernama Jami’at Khair, Hidayatullah, Nahdhatul Ulama (NU). Muhammadiyah, Persis, Hidayatullah dan Al-Irsyad lebih dikenal masyarakat sebagai gerakan Islam Modernis sendagkan NU seringkali dikategorikan sebagai Islam traditional, salah satunya karena sistem pendidikan pesantrennya. Ciri yang menonjol dari keempat ormas ini adalah metode perjuangan mereka yang bergerak melalui bidang pendidikan, dan sosial kemasyarakatan, yang mana dalam hal ini Muhammadiyah menempati posisi teratas dengan ribuan sekolah, universitas, dan lembaga pendidikan tinggi serta ratusan rumah sakit di seluruh Indonesia.

Selain kelima organisasi diatas, juga kita kenal ormas islam yang berskala nasional lainnya seperti Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) dan lain-lain. Sementara itu, diantara ormas-ormas Islam yang berskala internasional kita mengenal adanya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan lain-lain.

Melihat kondisi ormas-ormas Islam saat ini, agaknya telah telah terjadi kemunduran dan disintegrasi. Terbukti bahwa sampai hari ini belum kita dapati adanya satu wadah yang mempersatukan kekuatan dari ormas-ormas tersebut. Padahal dahulu kita dapati mereka pernah bersatu padu di bawah naungan Syarekat Islam dan Masyumi sehingga menjadi kekuatan politik yang sangat berpengaruh di panggung perpolitikan nasional.

Namun pasca bubarnya Masyumi di awal masa orde baru hingga masa reformasi sekarang ini, belum kita lihat adanya aksi nyata dari ormas-ormas Islam yang ada saat ini bersatu, saling bahu membahu dalam memperjuangkan Islam di bumi pertiwi ini. Bahkan yang lebih memprihatinkan, jika dulu kita lihat 'perang dingin' antar ormas ini hanya terjadi di tataran grassroot saja, maka kini kita dapat hal itu telah sampai dalam tataran elit ormas-ormas tersebut. Tentu masih segar dalam benak kita, bagaima seorang pimpinan salah satu ormas islam--yang katanya--terbesar di indonesia, dengan tanpa merasa berdosa sedikitpun menuduh beberapa ormas islam lainnya dengan tuduhan yang sesat dan menyesatkan. Belum lama ini juga kita saksikan di media-media, bagaimana ormas-ormas anti islam, jaringan islam liberal, serta kaum gay dan lesbi bersatu padu untuk membubarkan salah satu ormas islam yang gencar melakukukan amar ma'ruf nahi munkar. Namun apa yang dilakukan oleh ormas-ormas islam lainnya? Hanya berdiam diri. Nah, pertanyaannya sekarang : mengapa 'kita' begitu sulit bersatu?

Menurut saya, setidaknya ada dua sebab utama mengapa ormas-ormas islam sulit sekali untuk bersatu. Pertama, belum adanya kesadaran akan pentingnya persatuan dan kesatuan ummat antar ormas-ormas yang ada. kalaupun ada, itu baru sebatas wacana saja, belum ada langkah-langkah kongkrit untuk mewujudkannya. Kedua, belum adanya momentum yang dapat menyatukan visi misi serta gerak langkah antar ormas islam yang ada. Kalau kita lihat kondisi di mesir hari ini, akan kita temukan bagaimana ormas/jamaah islam yang ada--seperti ikhwanul muslimun dan salafiyah--bersatu padu dalam upaya reformasi mesir pasca tergulingnya rezim husni mubarak. Begitu pula kondisi ormas-ormas islam pada awal-awal kemerdekaan indonesia dulu, semuanya bersatu dalam satu barisan, dan menjadi kekuatan besar yang mampu mewarnai pemerintahan, pasca peralihan kekuasaan dari masa penjajahan. Hingga akhirnya konflik kepentingan menyebabkan perpecahan antar mereka.

Namun meskipun begitu, harapan itu masih ada. Kita berharap, setidaknya kedepan akan terbentuk sebuah forum atau wadah apapun yang dapat memfasilitasi terjalinnya komunikasi antar seluruh ormas islam yang ada di indonesia. karena dengan komunikasi, akan terbangun sikap tafahum, saling memahami antar ormas yang ada. Kemudian dari sikap tafahum tadi, akan melahirkan rasa persatuan dan kesatuan diantara mereka, sehingga dapat meningkat menjadi sikap ta'awun, saling menolong, bahu membahu dalam dakwah dan perjuangan islam. Semoga di masa mendatang semua ormas-ormas ini dapat bersatu sehingga dapat merealisasikan misinya mewujudkan negara Indonesia yang islami. Wallahu a’lam

Oleh : Eko Priadi (Staff Kaderisasi KAMMI UIN Maliki Malang)

Tauhid Sebagai Pondasi Ekonomi Syariah


Berbicara tentang ekonomi syariah, maka kita tak dapat melepaskannya dari nilai-nilai dasar yang menjadi pijakannya, yaitu ketauhidan kepada Allah swt. Sebagai seorang muslim, tentunya kita yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah-lah yang  mencipta dunia dengan segala isinya, Dia pula yang menciptakan, mengurus, mengatur dan mencukupi seluruh kebutuhan makhluknya.

Manusia sebagai ciptaan Allah yang paling sempurna, dalam kehidupannya di dunia ini memiliki dua tugas utama : sebagai ‘hamba’ yang mengabdikan dirinya untuk beribadah kepada Allah, dan sebagai ‘khalifah’ yang mendedikasikan hidupnya untuk memakmurkan, menyejahterakan, mengamankan bumi Allah. Namun di lain sisi, manusia juga diberikan oleh Allah potensi untuk sesat, merusak dan menumpahkan darah.

Maka untuk menjalankan tugasnya itu, Allah pun memberikan petunjuk kepada ummat manusia melalui “kalam”-Nya yang terjaga (Al-Quran) dan keteladanan dari RasulNya yang mulia (As-Sunnah). Jika petunjuk ini yang menjadi pegangan, pijakan dan landasan bagi manusia dalam menjalankan tugasnya sebagai ‘hamba’ dan ‘khalifah’, maka misinya untuk beribadah, memakmurkan dan mengamankan bumi Allah akan terealisasi. Namun jika manusia berpaling dari petunjuk itu, maka kesesatan, kerusakan dan pertumpahan darah itulah yang akan terjadi.

Dari sini dapat kita pahami bahwa segala aktivitas manusia dalam seluruh lini kehidupannya, termasuk kegiatan social dan ekonomi (muamalah), adalah bagian dari ibadah. Sehingga dalam penerapannya, haruslah berlandaskan pada nilai-nilai ketauhidan kepada Allah, nilai-nilai Al-Quran dan Sunnah. Tidak boleh menghalalkan segala cara, hanya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Jad,i dalam Islam kegiatan ekonomi itu bukan hanya untuk mencari keuntungan duniawi semata, namun juga sebagai bentuk ibadah kepada Allah, sebagai sarana untuk mecari ‘keuntungan’ akhirat. Orientasi akhirat inilah yang menjadi ‘furqan’ (pembeda) antara ekonomi syariah dengan ekonomi konvensional.

Selain dalam hal orientasi, perbedaan mendasar lainnya antara sistem ekonomi syariah dengan sistem ekonomi konvensional adalah paradigma berfikir yang dibangunnya. Para pengusung ekonomi konvensional meyakini bahwa “sumberdaya itu terbatas” sedangkan “kebutuhan manusia tidak terbatas”. Atau dengan kata lain, mereka beranggapan bahwa sumberdaya yang tersedia jauh lebih sedikit daripada jumlah manusia. Ini adalah tuduhan yang keji terhadap Allah! Seolah-olah Allah tidak teliti menciptakan manusia dan sumberdaya dengan tidak seimbang.

Padahal tidak satupun makhluk yang ‘bergerak’ di bumi ini, melainkan telah Allah jamin rezkinya. Kata kuncinya adalah ‘bergerak’. Jadi selama manusia mau bergerak, bekerja, berusaha dengan mengerahkan segala potensinya untuk mencari ‘karunia’ Allah, maka pasti akan Allah jamin rezkinya, akan Allah cukupi kebutuhan-kebutuhannya, bahkan dari ‘jalan yang pernah disangka-sangka’. Dan Allah punya cara sendiri untuk membagikan rezki kepada seluruh makhluk-Nya.
Sejak masa Nabi dahulu, tanah Arab itu sudah memiliki kandungan minyak yang melimpah, namun tidak digunakan, tidak terksplorasi, karena memang Allah belum berikan ilmunya. Baru seabad terakhir ini manusia diberi ‘sedikit’ ilmu tentang minyak, dan itu sudah menjadi solusi bagi banyak kebutuhan manusia.

Kemudian Allah berikan ‘sedikit’ ilmu tentang komunikasi, dan itu sudah menjadi solusi bagi banyak persoalan manusia. Berapa banyak orang yang ‘mengais’ rezkinya dari bidang ini, dan berapa banyak pula yang menjadi kaya-raya karenanya.

Manusia baru di beri ilmu sedikit saja, namun mereka sudah menuduh Allah tak mampu menyediakan rezki yang cukup bagi ciptaannya. Padahal mereka belum mencapai ilmu dimana container dapat dipindahkan realtime seperti SMS. Maha suci Allah dari segala yang mereka tuduhkan.

Paradigma seperti inilah yang mengkonstruk prilaku-prilaku zalim, curang, dan cenderung menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dalam kegiatan perekonomian mereka, hanya karena ketamakan dan takut tidak kebagian ‘jatah’.

Namun Islam telah mengajarkan kepada kita bahwa sesungguhnya “sumberdaya itu tak terbatas” sendangkan “kebutuhan manusia itu terbatas”. Itulah sebabnya, kenapa kita harus senantiasa menjunjung tinggi predikat ‘halal’ dalam setiap transaksasi ekonomi kita.

Dalam Islam, setiap orang dibenarkan untuk menikmati hartanya seseuai dengan kebutuhannya, tidak berlebih-lebihan, tidak ‘mubazir’ dan tidak berfoya-foya. Dan kita diperintahkan untuk ‘mengeluarkan’ sebagian dari kelebihan harta kita untuk kepentingan agama dan orang-orang yang membutuhkannya. Karena di dalam harta kita juga terdapat hak mereka, yang meminta-minta maupun yang ‘menahan’ tangannya. Maka dengan paradigma seperti ini, nilai-nilai kejujuran, keadilan, kesetaraan, dan kepedulian social menjadi prinsip yang tak terpisahkan dari ekonomi syariah.
Allahu a’lam

Oleh : Eko Priadi

Palestina, Nasibmu Kini Siapa Peduli ?

Palestina. Apa yang terbayang di benak kita jika mendengar kata tersebut? Pasti pikiran kita akan melayang ke sebuah negeri dimana terdapat Masjid Al-Aqsha, tempat Isra’ dan Mi’rajnya Rasulullah SAW, sekaligus merupakan qiblat pertama ummat muslim dalam melaksanakan shalat, lebih kurang delapan belas bulan lamanya. Nah, tahukah anda gimana keadaan di Palestina sekarang?

Yup, beberapa waktu yang lalu dunia dihebohkan dengan kabar mengerikan tentang agresi militer Israel ke Gaza, Palestina. Hampir seluruh media massa, baik cetak maupun elektronik memberitakannya, dan ummat muslim di penjuru duniapun bereaksi dengan melakukan aksi solidaritas, mengecam, mengutuk kebrutalan pasukan zionis Yahudi, sampai menggalang bantuan dana untuk membantu para korban perang Palestina, bahkan tak terkecuali hingga di pelosok nusantara pun melakukan hal yang sama.

Pada 14 November lalu, untuk kesekian kalinya Zionis Israel menggempur Gaza dengan serangan udara dan laut. Selama delapan hari penuh Israel menghujani wilayah Gaza dengan rudal dan mortir hingga menewaskan 166 warga sipil, diantaranya terdapat 43 anak-anak dan 13 wanita, serta 1235 orang lainnya luka-luka. Kerugian materil akibat serangan Israel ini juga tidak tanggung-tanggung, total kerugiannya mencapai angka USD 1 Miliar atau sekitar Rp. 9,6 Triliun (www.news.detik.com). Dengan sengaja dan penuh kesadaran mereka mengarahkan serangan kepada warga sipil, wanita dan anak-anak. Ini adalah kejahatan kemanusiaan yang keji.

Namun begitu, bukan berarti rakyat Palestina hanya berdiam diri, pasrah dengan kebrutalan dan kezaliman Zionis Israel, sekali lagi tidak! Para mujahidin yang tergabung dalam Brigade Izzuddin Al-Qassam, sayap militer HAMAS, melakukan pembalasan yang tak kalah sengit. Ribuan roket mereka luncurkan ke berbagai wilayah Israel, bahkan beberapa diantaranya mampu menjangkau kota Tel Aviv, ibukota Israel yang berjarak 80 km dari Gaza, meski telah dilindungi oleh system pengaman anti rudal yang tercanggih di dunia, Iron Dome. Bahkan roket-roket Gaza yang notabene adalah produk dalam negeri, dan dibuat dari barang rongsokan, atas pertolongan Allah telah mampu pula menjatuhkan pesawat tempur F-16, helicopter Apache dan menghantam kapal perang milik Israel (lihat di www.metrotvnews.com, http://liputankita.com, dan http://indonesian.irib.ir).

Akhirnya, dengan menanggung rasa malu dan kehinaan, pada Rabu (21/11/2012)  Israel menyepakati gencatan senjata dengan HAMAS yang difasilitasi oleh Mesir, dan menerima semua persyaratan yang diajukan oleh pihak Palestina, salah satunya adalah mengakhiri blokade di jalur Gaza yang telah berlangsung puluhan tahun. Dan yang lebih menggembirakan lagi, melalui Sidang Majelis Umum PBB  pada Kamis (29/11/2012) lalu sebanyak 138 negara anggota PBB telah mengakui Palestina sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat ( lihat di www.antaranews.com, http://internasional.tvonenews.tv, dan http://international.sindonews.com). Ini merupakan kekalahan telak bagi Zionis Israel dan kroni-kroninya, serta merupakan kemenangan besar bagi bangsa Palestina dan ummat Muslim pada umumnya.

Nah, sekarang pertanyaannya adalah, kenapa konflik antara dua kubu ini selalu saja terulang? Banyak analisa yang telah dikemukakan oleh para ahli dan pengamat, mulai dari sudut pandang politik, ekonomi, social-budaya, dan militer. Namun jauh-jauh hari, lebih dari 14 abad yang lalu Allah swt telah memperingatkan kepada kita, “Sesungguhnya orang-orang yahudi dan nasrani itu tidak akan pernah ridha terhadap kalian (ummat muslim), sampai kalian mengikuti millah (agama, budaya, gaya hidup, perilaku dan kemauan) mereka” (QS 2:120). Dan dalam ayat yang lain Allah swt juga berfirman, “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang yahudi dan orang-orang musyrik…” (QS. 5 : 82).

Dari penjelasan al-Quran di atas, dapatlah kita pahami bahwa sesungguhnya factor agama menjadi sebab dominan perseteruan abadi antara Yahudi dan Muslim. Dan kalau kita menyempatkan diri untuk membaca Sirah Nabawiyah, akan kita dapati bagaimana kebencian, permusuhan dan pengkhianatan yang dilakukan oleh kaum Yahudi di Madinah terhadap Rasulullah saw dan para pengikut beliau. Jadi intinya, peperangan seperti ini merupakan realitas sejarah yang akan terus berulang hingga akhir zaman. Itu dalam konteks global. Namun dalam konteks perang Zionis Israel-Palestina, faktor historis-ideologis cukup kental mempengaruhinya.

Di satu sisi, pihak Zionis Israel mengklaim bahwa Palestina merupakan 'tanah yang dijanjikan' bagi bangsa Yahudi, yang akan menjadi negeri mereka, dimana mereka akan membangun kembali 'Kuil Sulaiman' yang menjadi simbol kejayaan bangsa Yahudi. Sehingga konsekwensi dari keyakinan ini adalah mereka harus menduduki tanah itu dan merampas hak-hak rakyat Palestina. Di sisi lain, dalam hati setiap muslim telah tertancap keyakinan dan kecintaan yang mendalam terhadap tanah Palestina dimana terdapat di dalamnya Masjid Al-Aqsha, bahwa itu adalah tanah suci yang diberkahi, bumi para nabi, tempat Isra' Mi'rajnya Rasulullah saw, kiblat pertama ummat muslim dalam melaksanakan shalat. Disamping memang secara de facto dan de jure tak dapat dipungkiri lagi bahwa rakyat Pelestina adalah pemilik sah 'tanah yang dijanjikan' itu, karena mereka sudah tinggal disana sejak ratusan tahun, jauh sebelum para imigran Yahudi berbondong-bondong menjajah dan mengusir mereka dari tanah kelahirannya. Dua interest inilah yang menyebabkan konflik Zionis Israel-Palestina akan terus mengabadi sepanjang zaman. Skenario endingnya hanya dua; Israel hengkang dan Palestina menguasai seluruh wilayahnya, atau masing-masing pihak rela melepaskan sebagian interestnya dengan menerima resolusi dua negara, Palestina separuh wilayah dan Israel separuh wilayah.

Pertanyaan berikutnya, ngapain kita harus repot-repot membantu dan mengurusi permasalahan Palestina? Emang urusannya sama kita apa? Toh di Indonesia sendiri juga masih banyak masalah pelik yang harus dipikirkan? Setidaknya, ada beberapa alasan kenapa kita harus ‘membela’ Palestina: Pertama, karena bangsa Palestina adalah saudara kita, saudara seiman, saudara seagama, saudara sesama manusia. Bukankah Allah swt telah menetapkan bahwa”Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara..” (QS 49:10). Dan Rasulullah saw pun tak lupa mengingatkan kita bahwa “Orang-orang mukmin itu ibarat satu tubuh, jika salah satu anggota tubuhnya sakit, maka sekujur tubuh akan ikut merasakan sakit..” (HR.Muslim). Sebagai saudara yang baik, maka sudah seharusnyalah bagi kita untuk membela, membantu, turut merasakan penderitaan yang dialami oleh saudara-saudara kita di Palestina. Bahkan kata Rasulullah saw, "Tidak sempurna keimanan seseorang dari kalian, sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri" (HR. Bukhari).

Kedua, Palestina merupakan salah satu Negara yang gigih mendukung kemerdekaan Indonesia di kancah Internasional pada masa awal proklamasi kemerdekaan dulu. Dukungan Palestina ini diwakili oleh mufti besar Palestina, Syekh Muhammad Amin Al-Husaini yang secara terbuka mendukung kemerdekaan Indonesia pada 6 September 1945, yang kemudian disebarluaskan selama dua hari berturut-turut oleh Radio Berlin berbahasa Arab, dan juga dimuat oleh Harian Al-Ahram, koran nasional Mesir. Selain itu, Muhammad Ali Taher, seorang saudagar kaya Palestina juga secara spontan menyerahkan seluruh uangnya di Bank Arabia dan berkata, “Terimalah semua kekayaan saya ini untuk memenangkan perjuangan Indonesia”. Setelah itu dukungan mengalir, di jalanan Palestina terjadi gelombang demonstrasi untuk solidaritas dan dukungan kepada Indonesia oleh masyarakat Timur Tengah (lihat di http://fimadani.com dan http://blog.umy.ac.id/2012/11/17). Jadi secara tidak langsung Indonesia pernah berhutang budi kepada Palestina atas dukungan politiknya dalam membela kemerdekaan Indonesia.

Kemudian yang ketiga, memperjuangkan kemerdekaan Palestina merupakan amanat konstitusi, sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945 alinea pertama, "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan." Oleh sebab itu, sebagai warga Negara yang baik, maka menjadi kewajiban kita untuk melaksanakan amanat dari konstitusi Negara kita.

Dan yang keempat, jangan sampai kita menjadi orang-orang yang ‘kerdil’, yang hanya memikirkan dirinya sendiri, yang hanya mengurusi masalahnya sendiri. Tapi jadilah orang ‘besar’, yang tidak hanya hidup untuk dirinya sendiri, tapi juga memikirkan orang lain. Karena setiap Muslim harus bermental pemimpin, harus berusaha untuk menanggung beban orang lain. Karena Islam mengajarkan kita untuk menjadi orang ‘besar’, yang berpikir besar dan mengurusi pekerjaan-perkerjaan besar, meskipun ia sendiri memiliki kebutuhan dan masalah pribadi.

Kemudian pertanyaan yang terakhir adalah, apa yang bisa kita lakukan untuk membela Palestina? Nah, karena kita masih pelajar/mahasiswa, jabatan dan kekuasaan juga gak punya, mau ikut ke Gaza juga pastinya bakalan 'gak mudah' dapat akses kesana, setidaknya ada beberapa hal yang bisa kita lakukan buat saudara-saudara kita di Palestina:

  1. Bantu mereka dengan do’a. Jangan pernah lupa untuk senantiasa memohon pertolongan Allah dan kemenangan bagi mereka dalam setiap bait-bait do’a kita, dalam shalat-shalat kita, dalam tiap munajat-munajat kita kepada Allah. Karena doa adalah senjata yang paling hebat bagi orang-orang beriman. “Berdo’alah kalian kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan bagi kalian.” (QS Ghafir: 60)
  2. Bantu mereka dengan harta kita. Mari sisihkan sebagian uang saku kita untuk saudara-saudara kita di Palestina, sekecil dan sesedikit apapun itu, insyaAllah akan sangat bermanfaat dalam membantu perjuangan mereka disana.
  3. Sebisa mungkin kita hindari untuk membelik produk-produk dari perusahaan yang berafiliasi kepada Amerika Serikat dan Israel. (info selengkapnya terkait daftar produk AS-Israel yang harus di boikot dapat diakses di alamat http://www.inminds.co.uk/boycott-brands.html ).
  4. Jangan pelit berbagi informasi terkait kondisi yang dialami oleh saudara-saudara kita di Palestina, baik secara lisan, tulisan, dan melalui berbagai media serta beragam jejaring social yang ada. insyAllah dengan demikian kita juga telah turut mengambil peran dalam mengkampanyekan kemerdekaan Palestina kepada public. Allahu a’lam bishawab.
----------------------------------------------------------------
Oleh: Eko Priadi - Staff Kaderisasi KAMMI UIN Maliki Malang