Berbagai
aliran sesat berlabelkan “islam” bermunculan di Indonesia dengan dalih HAM dan
kebebasan. benarkah aparat mengambil tindakan tegas terhadap para perusak dan
penoda ajaran islam, sesuai dengan perundang undangan, seperti kepres no.1 thn.
1965 dan KUHP pasal 156a tentang penistaan suatu agama? Lalu bagaimana dengan
syiah, masukkah mereka dalam kategori didalamnya?
Sebuah kebijakan publik tidak lahir dari ruang
hampa, dari buku atau meja kemudian diketuk palu. Pertanyaan dalam kasus syiah
lebih tepatnya adalah, kepada siapa president atau pejabat pemerintah meminta
masukan? Dari pakar hukum yang tidak memahami agama atau dari Majelis Ulama
Indonesia? Kasus syiah dimadura cukup mencengangkan, karena tidak sedikit
kerugian yang ditimbulkannya dengan dalih kebebasan dalam beragama. Kebebasan
beragama? Benar kebebasan beragama diatur dalam UUD. Tapi kebebasannya sejauh mana, itu yang tidak
ada dalam UUD. Makna kebebasan sangat bias, jadi disitulah pentingnya MUI,
tempat berkumpulnya ulama dari berbagai organisasi islam, malakukan tafsir
terhadap UUD, sehingga umat islam terayomi.
Tapi kini MUI ditimpa kegalauan dalam bersikap. Fatwa MUI 1984 tidak
juga mengalami perubahan, tidak terlihat adanya ketegasan hukum di dalamnya.
Dalam fatwa itu lebih mengedepankan penjabaran perbedaan antara sunni dan
syiah.
Berawal dari sebuah
konflik asmara antara dua kubu sunni dan syiah tersebut hingga melebar pada
pembantaian dan penistaan terhadap agama,masalah syiah kembali mengintip
dipermukaan indonesia. Menurut ketua KAMMI UIN Malang yang saat itu ditemui
dalam diskusi politik yang diadakan teman-teman mahasiswa devisi Kebijakan
Publik KAMMI UIN Malang, kamis 13 September 2012 kemarin terkait fatwa MUI,
menyatakan“adanya demokrasi tidak mudah membuat kita mengatakan sesat atau
tidak sesat, memang butuh ketegasan dari MUI, karena kiblat umat islam
indonesia ada di tangan mereka”.
ketua KAMMI UIN Malang
juga menghimbau agar MUI ada dialog yang lebih mendalam dengan syiah, di tengah
polemik ini di dukung dengan begitu lemahnya aqidah masyarakat kita. Harapannya
pemerintah juga membekali masyarakat dengan pemahaman aqidah yang menyeluruh,
aqidah mana yang bathil dan yang haq. Masyarakat indonesia juga harus lebih
kritis lagi menyikapi hal ini, karena ini persoalan aqidah.
Ketua HMI, ahmad sofyan
hanya menuturkan, bersyukurlah syiah karena di negara kita menganut faham
demokrasi, selama syiah di indonesia tidak sama dengan syiah di syiria saya
rasa aman-aman saja, dan beliau juga turut berargument terkait fatwa MUI”Dosa
besar bagi MUI ketika tidak bisa memberi keputusan terkait masalah ini, karena
mereka merupakan kiblat umat muslim di Indonesia, di revisi saja kalau perlu
orang-orang yang ada di dalamnya!”.
MUI memang tidak
mengeluarkan fatwa apapun, kecuali MUI jawa timur yang telah bersepakat bahwa
syiah termasuk aliran sesat. Sedangkan MUI pusat hanya meminta kita lebih
berhati-hati. MUI merupakan kiblat umat muslim, setiap tutur katanya menjadi
hujjah karena mereka terdiri dari orang-orang yang terpilih dan dipilih. Dalam
kata dan tindakannya harus lebih bersikap “wara’”. “Mulut mereka bagai pedang”
kata salah satu kader PMII yang kebetulan turut menjadi nara sumber pada acara
diskusi yang di gelar oleh temen-teman KP KAMMI UIN MALIKI Malang di gedung B
lantai 2 waktu itu.
lantas bagaimana sikap
kita sebagai mahasiwa menghadapi polemik yang terjadi di Indonesia? “Cuek “ kah
kita dengan kasus syiah dan kasus-kasus yang lainnya? yang tak pernah habis
dimakan masa hingga kiamat tiba dengan misi-misi mereka yang ingin
menghancurkan islam?
Betapa banyak yang
menuntut kita untuk bergerak, hari ini. Rakyat kita di Indonesia lemah dan
dilemahkan. Apakah kita, yang mengaku orang-orang berpendidikan hanya mampu
melihat? Merasa sibuk dengan urusan pribadi? Betapa berdosanya kita, jika tidak
melakukan sesuatu, minimal kritislah. ”Begitulah tutur kata dari sekdept humas
KAMMI UIN Malang yang sungguh membuat penulis kembali berkaca, apa yang sudah
kita lakukan untuk agama dan bangsa ini?
Saya kira bagus dengan
diskusi-diskusi seperti ini, syukur-syukur jika aspirasinya sampai ke tangan
yang memegang amanah dipemerintahan, tapi sayang tak banyak yang hadir,
harusnya mahasiswa UIN yang lebih peka terkait permasalahan islam yang ada di
Indonesia, karena kita berada di bawah salah satu atap universitas islam
terbesar di Indonesia. tuturnya kembali sambil memberi semangat panitia akhwat
dari Kebijakan Publik KAMMI UIN Malang yang terlihat lelah setelah seharian
menyiapkan acara diskusi tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar