Kamis, 04 Oktober 2012

SYIAH (BUKAN) SESAT



Berbagai aliran sesat berlabelkan “islam” bermunculan di Indonesia dengan dalih HAM dan kebebasan. benarkah aparat mengambil tindakan tegas terhadap para perusak dan penoda ajaran islam, sesuai dengan perundang undangan, seperti kepres no.1 thn. 1965 dan KUHP pasal 156a tentang penistaan suatu agama? Lalu bagaimana dengan syiah, masukkah mereka dalam kategori didalamnya?
 Sebuah kebijakan publik tidak lahir dari ruang hampa, dari buku atau meja kemudian diketuk palu. Pertanyaan dalam kasus syiah lebih tepatnya adalah, kepada siapa president atau pejabat pemerintah meminta masukan? Dari pakar hukum yang tidak memahami agama atau dari Majelis Ulama Indonesia? Kasus syiah dimadura cukup mencengangkan, karena tidak sedikit kerugian yang ditimbulkannya dengan dalih kebebasan dalam beragama. Kebebasan beragama? Benar kebebasan beragama diatur dalam UUD.  Tapi kebebasannya sejauh mana, itu yang tidak ada dalam UUD. Makna kebebasan sangat bias, jadi disitulah pentingnya MUI, tempat berkumpulnya ulama dari berbagai organisasi islam, malakukan tafsir terhadap UUD, sehingga umat islam terayomi.  Tapi kini MUI ditimpa kegalauan dalam bersikap. Fatwa MUI 1984 tidak juga mengalami perubahan, tidak terlihat adanya ketegasan hukum di dalamnya. Dalam fatwa itu lebih mengedepankan penjabaran perbedaan antara sunni dan syiah. 
Berawal dari sebuah konflik asmara antara dua kubu sunni dan syiah tersebut hingga melebar pada pembantaian dan penistaan terhadap agama,masalah syiah kembali mengintip dipermukaan indonesia. Menurut ketua KAMMI UIN Malang yang saat itu ditemui dalam diskusi politik yang diadakan teman-teman mahasiswa devisi Kebijakan Publik KAMMI UIN Malang, kamis 13 September 2012 kemarin terkait fatwa MUI, menyatakan“adanya demokrasi tidak mudah membuat kita mengatakan sesat atau tidak sesat, memang butuh ketegasan dari MUI, karena kiblat umat islam indonesia ada di tangan mereka”.
ketua KAMMI UIN Malang juga menghimbau agar MUI ada dialog yang lebih mendalam dengan syiah, di tengah polemik ini di dukung dengan begitu lemahnya aqidah masyarakat kita. Harapannya pemerintah juga membekali masyarakat dengan pemahaman aqidah yang menyeluruh, aqidah mana yang bathil dan yang haq. Masyarakat indonesia juga harus lebih kritis lagi menyikapi hal ini, karena ini persoalan aqidah.
Ketua HMI, ahmad sofyan hanya menuturkan, bersyukurlah syiah karena di negara kita menganut faham demokrasi, selama syiah di indonesia tidak sama dengan syiah di syiria saya rasa aman-aman saja, dan beliau juga turut berargument terkait fatwa MUI”Dosa besar bagi MUI ketika tidak bisa memberi keputusan terkait masalah ini, karena mereka merupakan kiblat umat muslim di Indonesia, di revisi saja kalau perlu orang-orang yang ada di dalamnya!”.
MUI memang tidak mengeluarkan fatwa apapun, kecuali MUI jawa timur yang telah bersepakat bahwa syiah termasuk aliran sesat. Sedangkan MUI pusat hanya meminta kita lebih berhati-hati. MUI merupakan kiblat umat muslim, setiap tutur katanya menjadi hujjah karena mereka terdiri dari orang-orang yang terpilih dan dipilih. Dalam kata dan tindakannya harus lebih bersikap “wara’”. “Mulut mereka bagai pedang” kata salah satu kader PMII yang kebetulan turut menjadi nara sumber pada acara diskusi yang di gelar oleh temen-teman KP KAMMI UIN MALIKI Malang di gedung B lantai 2 waktu itu.
lantas bagaimana sikap kita sebagai mahasiwa menghadapi polemik yang terjadi di Indonesia? “Cuek “ kah kita dengan kasus syiah dan kasus-kasus yang lainnya? yang tak pernah habis dimakan masa hingga kiamat tiba dengan misi-misi mereka yang ingin menghancurkan islam?
Betapa banyak yang menuntut kita untuk bergerak, hari ini. Rakyat kita di Indonesia lemah dan dilemahkan. Apakah kita, yang mengaku orang-orang berpendidikan hanya mampu melihat? Merasa sibuk dengan urusan pribadi? Betapa berdosanya kita, jika tidak melakukan sesuatu, minimal kritislah. ”Begitulah tutur kata dari sekdept humas KAMMI UIN Malang yang sungguh membuat penulis kembali berkaca, apa yang sudah kita lakukan untuk agama dan bangsa ini?
Saya kira bagus dengan diskusi-diskusi seperti ini, syukur-syukur jika aspirasinya sampai ke tangan yang memegang amanah dipemerintahan, tapi sayang tak banyak yang hadir, harusnya mahasiswa UIN yang lebih peka terkait permasalahan islam yang ada di Indonesia, karena kita berada di bawah salah satu atap universitas islam terbesar di Indonesia. tuturnya kembali sambil memberi semangat panitia akhwat dari Kebijakan Publik KAMMI UIN Malang yang terlihat lelah setelah seharian menyiapkan acara diskusi tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar